Tuesday 1 September 2015

Kisah Zhuge Liang

ZhuGe Liang (Hanzi : 诸葛亮) adalah ahli strategi militer yang hidup pada 181 – 234 Masehi pada zaman Tiga Negara Sam Kok. Dia adalah ahli strategi dari negara Shu Han yang paling cerdik dan terkenal dalam sejarah Tiongkok. Zhuge Liang juga adalah salah seorang Dewa dan tokoh agama Tao yang sangat menguasai ilmu astronomi dan memahami ritual-ritual keagamaan Tao. Dia acapkali dilukiskan sedang memakai sebuah jubah dan memegang kipas yang terbuat dari bulu burung bangau. Dia dikenal dengan nama Kong Mingatau Kong Beng dan mempunyai julukan “Naga Tidur”.
Nama lain : Zhuge Kongming
Kerajaan : Shu Han (Liu Bei dan Liu Chan)
Lahir :  181 Masehi
Meninggal : 234 Masehi
Istri : Huang Yue Ying (Lady Huang)*
Leluhur : Zhuge Feng, mengabdi pada pemerintahan Kaisar Yuan dari Han.
Ayah : Zhuge Gui, menjabat sebagai Asisten Komandan di Gunung Tai pada akhir dinasti Han.
Ibu : Hanya diketahui bermarga Zhang
Paman : Zhuge Xuan, menjabat sebagai Administrator Yuzhang, lalu bergabung dengan Liu Biao.
Saudara laki : 1. Zhuge Jin (kakak, mengabdi pada kerajaan Wu); 2. Zhuge Jun (adik, mengabdi pada kerajaan Shu)
Saudara perempuan : 1. Kakak, nama tidak diketahui, menikah dengan Pang Shanmin (sepupu Pang Tong tertua); 2. Kakak, nama tidak diketahui, menikah dengan anggota dari klan Kuai (dipimpin oleh Kuai Liang dan Kuai Yue) di Xiangyang.
Sepupu : Zhuge Dan, mengabdi pada kerajaan Wei, berpartisipasi dalam tiga pemberontakan di Shouchun, tewas setelah kekalahannya.
Anak : 1. Zhuge Qiao (anak angkat, anak ke 2 Zhuge Jin), mengabdi pada kerajaan Shu, meninggal di usia muda; 2. Zhuge Zhan (anak kandung), mengabdi pada kerajaan Shu, tewas dalam aksi serangan Wu kepada Shu; 3. Zhuge Huai, hidup sebagai orang biasa selama Dinasti Jin (dinasti setelah 3 kerajaan).
Keponakan : Zhuge Ke, Zhuge Qiao, Zhuge Rong (anak-anak dari Zhuge Jin, kakaknya)
Perjalanan Hidup Zhuge Liang
Ia mengikuti Liu Bei setelah Liu Bei dan kedua adik angkatnya (Guan Yu danZhang Fei) membuat tiga kunjungan untuk menjemputnya menjadi ahli strategi negeri Shu. Terharu dengan keikhlasan dan kemurnian hati Liu Bei yang menangis karena mengenangkan nasib rakyat pada zaman peperangan itu, maka ia mengabdikan diri kepada Liu Bei. Nasihat pertama yang diberikannya secara pribadi kepada Liu Bei adalah “Longzhong Plan”, yaitu tentang pendirian tiga negara besar di tanah Tiongkok, yaitu Wei, Wu dan Shu. Nasihat pertama Zhuge Liang ini menjadi kenyataan setelah beberapa tahun membantu Liu Bei di dalam peperangan untuk menegakkan Dinasti Han yang telah rapuh.
Setelah Liu Bei wafat, Liu Bei mengamanatkan padanya untuk memulihkan kembali kekuasaan Dinasti Han dan ’mengambil’ alih kekuasaan kalau-kalau anak Liu Bei, Liu Chan, tidak becus dalam menjalankan negara. Walaupun Liu Chan terbukti tidak cakap, Zhuge Liang masih menghargainya sebagai kaisarnya. Hal pertama yang dia lakukan adalah mengamankan daerah Nanman. Dan pada tahun 225 M dia menginvasi daerah Nanman dan berhasil menangkap pemimpinnya, Meng Huo. Zhuge Liang kemudian menawarkan status aliansi kepada Nanman yang kemudian ditolak oleh Meng Huo. Setelah Zhuge Liang menangkap dan melepaskan Meng Huo sebanyak tujuh kali, akhirnya Meng Huo mau menerima penawaran itu dan menjadi aliansi untuk Shu.
Setelah mengamankan daerah selatan dan memastikan tidak akan ada pemberontakkan dari Nanman maka kampanye utara pun dilaksanakan. Pada tahun 227 M Zhuge Liang menginvasi Tian Shui dan berhasil merekrut seorang prajurit Wei yang cakap, Jiang Wei, untuk bergabung dengan Shu (Jiang Wei kemudian ditunjuk menjadi penerus dari Zhuge Liang pada pertempuran di WuZhang (Battle of WuZhang).
Tahun 228 M Dia mengirimkan anak buahnya, Ma Su untuk mengambil daerah Jie Ting. Dan perang antara Shu yang dikomandani oleh Ma Su dengan Wei yang dikomandani oleh Sima Yi terjadi. Ma Su yang telah dilarang oleh Zhuge Liang untuk mendirikan perkemahan di puncak gunung bersikeras melakukannya dengan alasan agar lebih mudah menghancurkan perkemahan musuh. Namun, tak terpikirkan oleh Ma Su, ternyata hal itu malah membuat Wei menjadi mudah menyerang. Pasukan Wei dipimpin oleh Zhang He menaiki bukit menuju perkemahan Shu yang membuat Ma Su mundur dan kalah telak. Pada akhirnya, Ma Su yang dijadikan penjahat negara dieksekusi mati oleh atasannya sendiri, Zhuge Liang.
Tahun 229 M Zhuge Liang kembali mengambil alih komando perang, kali ini di Chen Cang. Chen Cang yang merupakan daerah Wei yang dilindungi oleh Sima Yi. Lagi-lagi perang antara Zhuge Liang dan Sima Yi terjadi. Alhasil, walaupun Chen Cang yang terutama gerbang utamanya itu sangat terlindungi, namun dengan segala perlengkapan berat Shu, Chen Cang akhirnya jatuh ke tangan Zhuge Liang.
Pertempuran WuZhang – Kematian Zhuge Liang
Kampanye utara ini tak berakhir sampai di Chen Cang, tapi Zhuge Liang meneruskannya sampai ke dataran Wu Zhang. Pada tahun 234, Zhuge Liang memimpin 100.000 pasukan untuk melanjutkan ekspedisinya setelah melakukan tiga tahun persiapan sejak ekspedisi terakhirnya. Pada saat yang sama Zhuge Liang mengirimkan utusan ke Dong Wu agar Wu dapat menyerang Wei pada saat bersamaan. Pada tahun yang sama, pasukan Shu telah sampai ke daerah Wuzhang dekat Sungai Wei dan mendirikan kemah di sana. Sementara komandan Cao Wei, Sima Yi telah menyiapkan 200.000 pasukan dan bersiap di tepi selatan Sungai Wei.
Sima Yi tidak mau menantang pasukan Shu, namun lebih memilih untuk membuat pasukan Shu mundur karena kehabisan perbekalan. Zhuge Liang mengerti akan kondisi ini dan memerintahkan pasukannya untuk bercocok tanam agar tidak kehabisan bahan pangan (kebijakan ini dipopulerkan oleh Cao Cao). Pasukan Shu sendiri tidak menyerang, melainkan menunggu penyerangan yang dilakukan oleh Wu ke Wei sebelum menyerang pasukan Wei. Pasukan Shu menantang pasukan Wei untuk bertempur beberapa kali, tapi Sima Yi tetap tidak mau melawan musuh.
Sesudah itu Zhuge Liang mengirimkan pakaian wanita ke Sima Yi, ia berkata bahwa Sima Yi adalah wanita karena tidak berani menyerang. Para perwira pasukan Wei sangat marah terhadap hal ini, namun Sima Yi tetap tidak terpancing untuk menyerang. Untuk menenangkan perwiranya Sima Yi meminta izin Kaisar Wei Cao Rui untuk menyerang musuh. Cao Rui mengerti akan situasi di sana dan mengirimkan penasihatnya Xin Pi ke Sima Yi untuk memberi tahu para pasukan Wei agar tetap bersabar.
Zhuge Liang akhirnya jatuh sakit karena kelelahan; kondisinya semakin hari semakin buruk. Saat mendengar tentang hal ini Kaisar Shu, Liu Chan mengirim Li Fu untuk bertanya kepada Zhuge Liang tentang apa rencana yang telah disusun untuk kerajaan Shu kedepannya. Zhuge Liang yang memang seorang ahli perhitungan ramal juga sebelumnya telah meramalkan bahwa dirinya sulit lolos dari maut di pertempuran kali ini. Ia lalu mengamanatkan bahwa Jiang Wan dapat mengambil posisinya sebagai Perdana Menteri kelak; dan setelah Jiang Wan meninggal Fei Yi dapat mengambil posisinya. Zhuge Liang juga memberikan instruksi bagaimana cara pasukan Shu untuk mundur secara bertahap dari Hanzhong.
Kabar mengenai Zhuge Liang yang sudah jatuh sakit ini akhirnya sampai ke telinga Sima Yi. Sebelum mulai perang terbuka, Zhuge Liang mengirimkan surat kepada kaisar Wu, Sun Quan, meminta untuk menyerang Wei dengan harapan Wei akan kekurangan pasukan ketika melawan Shu di Wu Zhang nanti. Kerajaan Wu meluluskan permintaan tersebut namun tidak dengan sepenuh hati dikarenakan hanya untuk menghargai aliansi Wu-Shu. Wu yang akhirnya menyerang istana He Fei milik Wei malah mengalami kekalahan. Tapi bagaimanapun perang di Wu Zhang harus tetap dimulai.
Akhirnya pada tahun 234 M Zhuge Liang mengumumkan perang terbuka terhadap Wei yang dikomandani oleh Sima Yi. Walaupun sakit, Zhuge Liang tetap mengomando pasukan Shu sampai akhirnya dia wafat ketika perang belum berakhir. Zhuge Liang yang bekerja terlalu keras dan penuh tekanan, telah membuat dirinya sakit pada operasi penyerangan yang keenam. Zhuge Liang meninggal dunia di Wu Zhang Yuan pada usia 53 tahun. Namun, sebelum meninggal dia memilih Jiang Wei sebagai penerus komando pasukan. Jiang Wei selanjutnya memerintahkan untuk menutupi kematian Zhuge Liang dari Wei sampai mereka tiba dengan selamat di lembah Baoye untuk kembali ke Hanzhong.
Sima Yi sendiri takut jika berita bahwa Zhuge Liang sudah mati adalah berita bohong dan merupakan kesempatan bagi Zhuge Liang untuk menyergapnya. Pada waktu itu juga ada cerita yang mengatakan bahwa Sima Yi mundur karena ia melihat patung kayu yang dipakaikan baju Zhuge Liang, sehingga seolah-olah Zhuge Liang masih hidup. Berita tentang Sima Yi melarikan diri dari Zhuge Liang yang telah mati menyebar, dan muncul kalimat “Zhuge yang telah mati menakuti Zhong Da yang masih hidup”. Zhongda adalah nama nama kehormatan milik Sima Yi.
Namun Sima Yi yang merasakan keganjilan akan strategi yang Shu pakai berkesimpulan kalau Zhuge Liang sudah wafat. Dengan kesimpulan tersebut, dia membuat tentara Wei makin bersemangat dan membuat Jiang Wei harus mundur kembali ke Shu Han. Setelah perang berakhir, Sima Yi pergi ke sisa-sisa perkemahan Shu yang telah kosong dan menganugerahi Zhuge Liang sebagai ’The greatest mind under heaven’.  Setelah itu ia menyimpulkan bahwa ia seharusnya terus mengejar pasukan Shu. Namun setelah tiba di lembah Baoye, mereka kekurangan persediaan makanan, maka itu pasukan Sima Yi akhirnya kembali ke sungai Wei.
Kematian Zhuge Liang membawa kerugian besar bagi Kerajaan Shu. Kematian Zhuge Liang menjadi awal kemunduran bangsa Shu yang akhirnya menyerah kepada Wei pada tahun 263 M (sekitar 30 tahun setelah Zhuge Liang wafat). Zhuge Liang tidak dapat memenuhi keinginan Liu Bei untuk mengembalikan kejayaan Dinasti Han; dimana dia gagal dalam menuntaskan misinya yang terakhir untuk menguasai Luo Yang. Pada tahun 265 M menteri negara Wei bernama Sima Yan (cucu dari Sima Yi) merebut kekuasaan dari keluarga Cao dan mendirikan negara Jin. Akhirnya pada tahun 280 M China resmi dipersatukan di bawah Dinasti Jin yang akan berkuasa selama lebih dari 150 tahun berikutnya.
Ia adalah salah satu tokoh sentral di balik berdirinya Tiga Kerajaan. BersamaLima Jenderal Harimau (Five Tiger) dan Liu Bei, dia menjadikan negara Shu menjadi kuat dan makmur di masa nya. Kebesaran nama Zhuge Liang menyebabkannya digelari salah satu dari 6 perdana menteri terbesar dalam sejarah Tiongkok. Beberapa cerita Zhuge liang yang menarik lainnya, misalnya : Seratus Ribu Buah Anak Panah Zhou Yu.
Tempat Bersejarah Zhuge Liang
Jika pembaca ingin mengetahui lebih banyak lagi mengenai tokoh Zhuge Liang ini, pembaca dapat berkunjung ke Wo Long Gang (Wolong Hill) di kota Nan Yang. Di sana terdapat benda-benda bersejarah tentang Zhuge Liang, termasuk rumah tinggal Zhuge Liang, tempat belajar/membaca buku Zhuge Liang, dan sebagainya. Tempat bersejarah ini dilindungi oleh Pemerintah RRC dan digunakan sebagai tempat tujuan pariwisata.
Catatan :
* Tokoh Huang Yue Ying sejarahnya masih kabur. Namanya tidak tercatat dalam sejarah; Huang Yueying hanyalah sebuah nama yang diberikan kepadanya dalam cerita rakyat, opera Cina , karya fiksi, dsb.
Sumber :
Wikipedia
Xuezhengdao

Kisah Kuan Kong

Guang Gong (Hanzi : 關公, Hokkian : Kwan Kong) atau sering disebut Guan Di, yang berarti paduka Guan, adalah seorang panglima perang kenamaan yang hidup pada zaman San Guo/Sam Kok (221 – 269 Masehi). Nama aslinya adalah Guan Yu alias Guan Yun Chan (Kwan In Tiang – Hokkian). Oleh kaisar Han ia diberi gelar Han Shou Ting Hou. Kwan Kong dipuja karena kejujuran dan kesetiaan. Dia adalah lambang atau tauladan kesatria sejati yang selalu menempati janji dan setia pada sumpahnya. Sebab itu Kwan Kong banyak dipuja dikalangan masyarakat, disamping kelenteng-kelenteng khusus. Gambarnya banyak dipasang dirumah pribadi, toko, bank, kantor polisi, pengadilan sampai ke markas organisasi mafia. Para anggota perkumpulan rahasia itu biasanya melakukan sumpah sejati dihadapan lukisan/patung Kwan Kong.
Disamping dipuja sebagai lambang kesetiaan dan kejujuran, Kwan Kong juga dipuja sebagai Dewa Pelindung Perdagangan, Dewa Pelindung Kesusastraan dan Dewa Pelindung rakyat dari malapetaka peperangan yang mengerikan. Julukan Dewa Perang sebagai umumnya dikenal dan dialamatkan kepada Kwan Kong, harus diartikan sebagai Dewa untuk menghindarkan peperangan dan segala akibatnya yang menyengsarakan rakyat, sesuai dengan watak Kwan Kong yang budiman. Kwan Kong adalah penduduk asli kabupaten Hedong (sekarang Jiezhou) di propinsi Shanxi.
patung guan yu
Patung Kwan Kong yang terbuat dari granit setinggi 4,8 meter, di Guan Yu Temple, Jingzhou
Bentuk tubuhnya tinggi besar, berjenggot panjang dan berwajah merah. Tentang wajahnya yang berwarna merah ini adalah sebuah cerita tersendiri yang tidak terdapat dalam novel San Guo (kisah tiga negeri). Suatu hari dalam pengembaraannya, Kwan Kong berjumpa dengan seorang tua yang sedang menangis sedih. Ternyata anak perempuan satu-satunya dengan siapa hidupnya bergantung, dirampas oleh wedana setempat (kepala wilayah administrasi pemerintah, setingkat dibawah kabupaten) untuk dijadikan gundik. Kwan Kong, yang berwatak budiman dan tidak suka sewenang-wenang semacam ini, naik darah. Dibunuhnya wedana yang jahat itu dan sang gadis dikembalikan kepada orang tuanya.
Tetapi dengan perbuatan ini Kwan Kong sekarang menjadi buronan. Dalam pelariannya itu Ia sampai dicela DongGuan di propinsi Shanxi. Ia lalu membasuh mukanya di sebuah sendang (sungai) kecil yang terdapat di pergunungan itu. Seketika rupanya berubah menjadi merah, sehingga tidak dapat dikenali lagi. Dengan mudah Ia menyelip diantara para petugas yang diperintahkan untuk menangkapnya tanpa diketahui. Riwayat Kwan Kong selanjutnya dan sampai akhir hayatnya ditulis dengan sangat indah dalam novel San Guo yang terkenal itu.
Liu-Bei-Guan-Yu-Zhang-Fei-bersulang
Lukisan Liu Bei, Kuan Kong dan Zhang Fei bersulang setelah mengangkat sumpah saudara di kebun buah persik
Dalam babak pertama dalam novel tersebut diceritakan bagaimana Kwan Kong dalam pengembaraannya berjumpa dengan Liu Bei dan Zhang Fei disebuah kedai arak. Dalam pembicaraan mereka ternyata cocok dan sehati, sehingga memutuskan untuk mengangkat saudara. Upacara pengangkatan saudara ini, dilaksanakan di rumah Zhang Fei dalam sebuah kebun buah Tao atau kebun persik. Liu Bei menjadi saudara tertua, Kwan Kong yang kedua dan Zhang Fei yang ketiga. Bersama-sama mereka bersumpah sehidup semati dan berjuang untuk membela negara. Peristiwa ini terkenal dengan nama “ Tao-Yuan-Jie-Yi ” (Tho Wan Kiat Gie–Hokkian) atau “Sumpah Persaudaraan Di kebun Persik”, sangat dikagumi oleh orang dari zaman ke zaman dan dianggap sebagai lambang persaudaraan sejati. Lukisan tiga bersaudara yang sedang melaksanakan upacara sumpah angkat saudara ini banyak menjadi objek lukisan, pahatan, patung keramik yang sangat disukai orang hingga sekarang ini.
Ada banyak cerita tentang Kwan Kong yang senantiasa asyik dibicarakan orang Tionghoa, seperti kisah Kwan Kong berbekal sebilah golok tanpa bala pasukan menghadiri pesta musuh, karena Negara Shu tidak mau mengembalikan Kota Jinzhou. Negara Dong Wu menyiasati dengan menggelar pesta untuk mengundangnya, lalu menghabisi Kwan Kong di dalam pesta. Kwan Kong datang menghadiri pesta itu dengan sebuah perahu kecil beserta puluhan pengikutnya, ia memandang para menteri dan jenderal Negeri Dong Wu bagai anak kecil, dengan kharisma luar biasa ia berhasil kembali ke markas dengan selamat.
five tiger
Five tiger Generals atau Jenderal Lima Macan (Guan Yu, Zhao Yun, Zhang Fei, Ma Chao dan Huang Zhong)
Kisah lainnya tentang perawatan luka dengan menyekrap tulang. Tatkala itu, ia berperang melawan pasukan Negara Wei, Kwan Kong terluka oleh panah beracun. Tabib Hua Tuo menyembuhkan luka beracun Kwan Kong dengan cara menyekrap tulang. Hua Tuo menggunakan pisau untuk menyekrap racun yang sudah merasuk ke tulang, hingga mengeluarkan bunyi. Kwan Kong bergeming makan dan minum sambil bermain catur dengan muka senyum, sama sekali tidak tersirat wajah menahan sakit. Tabib sakti Hua Tuo memuji Kwan Kong dengan berkata: “Jenderal benar-benar seorang Dewa langit.”
Kekalahan Kwan Kong dimulai dari situasi yang tak menguntungkan dipihaknya. Cao Cao mulai mengajak Sun Quan untuk berserikat. Sun Quan yang sejak lama menginginkan kota JingZhou (yang dikuasai Kwan Kong pada waktu itu) agar kembali kedalam wilayah kekuasaannya, setuju dan mengerakan pasukan merebut JingZhou. Kwan Kong akhirnya berhasil dijebak dan ditawan, yang kemudian dihukum mati karena menolak untuk menyerah. Karena takut akan pembalasan Liu Bei, Sun Quan mengirimkan kepala Kwan Kong ke tempat Cao Cao. Kwan Kong gugur pada tahun 219 Masehi dalam usia 60 tahun.
Guan Kong in China
Patung Guan Gong terbesar di dunia terletak di 13 kilometer barat daya Kota Yuncheng, kota kelahiran Guan Gong Chang Ping Village Selatan, saat ini adalah patung terbesar dan tertinggi di dunia.Tinggi 80 meter (61 meter tubuh perunggu tinggi, alas 19 meter)
Cao Cao yang sejak lama kagum kepada Kwan Kong, memakamkan kepalanya setelah disambung dengan tubuh dari kayu cendana secara kebesaran. Kuburan Kwan Kong terletak di propinsi Henan kira-kira 7 km sebelah utara kota Louyang. Pemandangan di situ sangat indah, sedangkan bangunan kuburannya sangat megah seakan-akan sebuah bukit kecil dari kejauhan. Sekeliling bangunan itu ditanami pohon Bai (Cypress) yang selalu hijau, melambangkan semangat Kwan Kong yang tidak pernah padam dan abadi dari jaman ke jaman. Pohon-pohon itu kini sudah menghutan dan ratusan tahun umurnya, sebab itu tempat tersebut dinamakan Guan Lin atau Hutan Guang Gong. Batu nisannya adalah hadiah dari kaisar dinasti Qing, dimana makam itu telah dipugar kembali.
Berdekatan dengan Guan Lin, terdapat sebuat kelenteng peringatan untuk mengenang Kwan Kong, yang dibangun pada jaman dinasti Ming. Kelenteng itu merupakan hasil seni bangunan dan seni ukir yang bermutu tinggi, sehingga merupakan objek wisata yang selalu dikunjungi para wisatawan dari dalam negeri dan luar negeri. Kelenteng peringatan Kwan Kong yang tersebar diseluruh Tiongkok terdapat di Jiezhou, propinsi Shanxi. Jiezhou, yang pada jaman San Guo disebut Hedong, adalah kampung halaman Kwan Kong. Kelenteng itu memiliki keindahan bangunan dan arsitektur yang sangat mengagumkan dan merupakan salah satu objek wisata terkemuka di Shanxi.

“读好书,说好话,行好事,做好人” (關公语)

Dú hǎo shū, shuō hǎohuà, xíng hǎoshì, zuò hǎorén – guāngōng yǔ
Artinya kira-kira : “Membaca buku-buku yang bagus, Berbicara hal yang baik, Melakukan perbuatan yang benar, Jadilah orang yang baik” – kata Kwan Kong.
Sebagai dewata, Kwan Kong dipuja umat Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme, Kaum Taoist memujanya sebagai Dewata pelindung dari malapetaka peperangan, sedangkan kaum Konfusianisme menghormati sebagai Dewa Kesusasteraan dan kaum Buddhist memujanya sebagai Hu Fa Qie Lan atau Qie Lan Pelindung Dharma. Menurut kepercayaan kaum Buddist, setelah Kwan Kong meninggal arwahnya muncul dihadapan rahib Pu Jing di kuil Yu Quan Si di gunung Yu Quan Shan, propinsi Hubei. Rahib Pu Jing pernah menolong Kwan Kong yang akan dicelakai seorang panglima Cao Cao, dalam perjalanan bergabung dengan Liu Bei. Setelah itu, karena takut pembalasan Cao Cao, rahib Pu Jing menyingkir ke gunung Yu Quan Shan dan mendirikan Kuil Yu Quan Si.
Telah lebih dari 1000 tahun sejak itu Kwan Kong dipuja sebagai Boddistsatwa Pelindung Buddha Dharma. Penghormatan terhadap Kwan Kong sebagai orang ksatria yang teguh terhadap sumpahnya, tidak goyah akan harta kekuasaan dan kedudukan dan setia terhadap saudara-saudara angkatnya, menyebabkan ia memperoleh penghormatan yang tinggi oleh kaisar-kaisar pada jaman berikutnya. Kwan Kong memperoleh gelar yang tidak tangung-tanggung Ia dsebut ” Di ” yang berarti ”Maha Dewa” atau ”Maha Raja“. Sejak itu Ia disebut Guan Di atau Guan Di Ye (Koan Te Ya) yang berarti Paduka Maha Raja Guan, sebutan Kedewaan yang sejajar dengan Xuan Tian Shang Di.
Gwan Kong, Gwan Ping, Zhou Zhang
Dewa Kwan Kong umumnya sering di visualkan bersama Guan Ping (anak angkatnya) dan Zhou Zhang (pengawal setianya)
Kwan Kong ditampilkan dengan berpakaian perang lengkap, kadang-kadang membaca buku dengan putra angkatnya Guan Ping (Koan Ping-Hokkian) yang memegang cap kebesaran dan Zhou Chang pengawalnya yang setia, bertampang hitam brewokan, memegang golok Naga Hijau Mengejar Rembulan, senjata andalan tuannya. Guan Ping memperoleh gelar Ling Hou Thi Zi (Leng Houw Thay Cu-Hokkian), hari kelahirannya diperingati tanggal 13 bulan 5 imlek, sedangkan Zhou Chang (Ciu Jong-Hokkian) atau Jendral Zhou, diperingati hari kelahirannya pada tanggal 20 bulan 10 imlek. Dalam pemujaan dikalangan Buddhis, Kwan Kong dipuja sendirian tanpa penggiring. Sering juga ditampilkan sebagai Qie Lan Pu Sa (Ka Lam Po Sat-Hokkian) atau Boddhisatwa Pelindung, bersama-sama Wei Tuo.
Di Hong Kong, Taiwan dan daratan Tiongkok memperingati kelahiranNya pada tanggal 24 bulan 6 imlek dan tanggal 13 bulan 1 imlek sebagai hari kenaikanNya. Seiring dengan mengalirnya para imigran Tionghoa keluar Tiongkok, pemujaan Kwan Kong tersebar ke negara-negara yang menjadi tempat tinggal para perantau itu. Di Malaysia, Singapura dan Indonesia banyak sekali kelenteng yang memuja Kwan Kong. Di Indonesia kelenteng yang khusus memuja Kwan Kong, dan terbesar dengan wilayah seluas kira-kira 4 Ha adalah kelenteng Guan Sheng Miao (Kwan Sin Bio) di Tuban, Jawa Timur. Ditempat Pemujaan Kwan Kong biasanya ikut dipuja juga seorang tukang kuda yang dipanggil Ma She Ye atau Tuan Ma. Ia bertugas merawat kuda tunggangan Kwan Kong yang disebut Chi-Tu-Ma (Cek Thou Ma-Hokkian) atau Kelinci Merah, yang dalam sehari bisa menempuh jarak 500 Km tanpa merasa lelah.
Sumber : http://www.tionghoa.info/

Kisah Delapan ( 8 ) Dewa

Legenda Delapan Dewa mungkin berawal pada Dinasti Tang, dan cerita itu bervariasi pada setiap dinasti. Para karakternya, menurut versi setelah Dinasti Ming, adalah Han Zhongli, Zhang Guolao, Han Xiangzi, Tie Guali, Cao Guojiu, Lu Dongbin, Lan Caihe, dan He Xianggu. Dengan memiliki penampilan dan kepribadian yang sangat berbeda, Delapan orang ini merupakan Dewa yang hebat dalam ajaran Tao, dan mereka
sering berkumpul bersama.

Delapan Dewa tidak langsung dilahirkan abadi. Mereka berasal dari dunia manusia, seperti dari anggota keluarga kekaisaran, pengemis, pendeta Tao, dan lain-lain. Ada kisah yang yang sangat menarik di belakang mereka saat berhasil berlatih dan mencapai keabadian.

Cao Guojiu adalah saudara seorang Kaisar, Tie Guali berkaki pincang dan berjalan dengan sebuah tongkat, He Xiangu seorang perempuan muda dan sangat menarik, Zhang Guolao terlihat sangat sehat di usianya yang lanjut dan sering menunggang keledai dengan terbalik. Han Xiangzi, keponakan dari Han Yu, seorang penulis terkenal di zaman Dinasti Tang dan sangat senang bermain seruling, Han Zhongli selalu terlihat dengan kipas daun palem di tangannya.
Melalui berbagai perjalanan mereka, Delapan Dewa bertemu dengan berbagai orang dan situasi, banyak di antaranya tertulis menjadi sebuah cerita. Satu perumpamaan keterlibatan Lu Dongbin yang menghalangi usaha untuk menawarkan penyelamatan manusia.

Delapan Dewa terdiri dari laki-laki dan perempuan, muda dan tua, kaya dan berbudi luhur, serta miskin dan rendah hati. Klenteng dari Delapan Dewa tersebar di seluruh Tiongkok dan patungnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prosesi penyembahan. Senjata yang mereka bawa seperti lonceng, kayu keras, kipas, tongkat, seruling, pedang, botol labu, Tao dan keranjang bunga, ini semua disebut "delapan harta" dan simbol dari Delapan Dewa.

1. Li Te Guai
Li Tie Guai-("Li dengan tongkat besi"). Tongkat besi yang dimilikinya, diberikan oleh Xi 
Wang-mu saat dia disembuhkan kakinya. Xi Wang-mu juga mengajarinya mengultivasi diri menjadi Dewa. benda lain yang dibawa-Nya adalah labu yang berisi ramuan ajaib.

Li kadang-kadang digambarkan dengan temperamen tinggi dan keras kepala, tapi murah hati terhadap orang miskin, orang sakit dan yang membutuhkan. Dengan menggunakan obat khusus dari labu-Nya, dia dapat mengurangi penderitaan orang lain. Ia sering digambarkan sebagai seorang pria tua jelek dengan wajah kotor, jenggot kumal, dan rambut berantakan yang diikat dengan pita emas. Dia berjalan dengan bantuan sebuah tongkat besi dan sering memikul labu miliknya di bahu atau dipegang ditangan. Dia juga sering digambarkan sebagai tokoh lucu, turun ke bumi dalam bentuk seorang pengemis dan menggunakan kemampuannya untuk memperjuangkan nasib yang membutuhkan dan tertindas.

Ada sebuah cerita lain tentang bagaimana Li sampai memiliki kaki yang pincang. Dengan Turun dari langit, Lao-zi memulai mengajarkan ajaran-ajaran Tao kepada Li. Segera setelah Li mencapai keabadian, ia meninggalkan tubuhnya untuk melakukan perjalanan ke Gunung suci Huashan. Dia meminta salah seorang muridnya untuk menjaga tubuhnya dan memberikan tugas khusus kepada murid-Nya untuk membakar tubuhnya jika ia tidak kembali dalam waktu tujuh hari. Namun, pada hari keenam, murid-Nya 
menerima pesan bahwa ibunya sedang sakit keras. Dia bingung apakah harus memenuhi kewajibannya sebagai seorang anak atau menjaga tubuh Li. Akhirnya murid itu memilih pulang menjenguk Ibunya tapi sebelum itu ia membakar tubuh Li. Pada hari ketujuh, Li kembali dan menemukan tubuhnya sudah terbakar menjadi abu. Dia terpaksa memasuki tubuh seorang pengemis yang telah meninggal yaitu seorang pria dengan kaki pincang, dan cacat. Li tidak ingin hidup dengan tubuh barunya tetapi Lao-zi memintanya untuk menerima nasibnya, dan memberi Li sebuah tongkat besi untuk membantu dia berjalan.

2. Zhang Guo Lao

"Zhang Guo Lao" adalah salah satu dari Delapan Dewa. Dia adalah tokoh nyata dalam sejarah, keberadaanya-Nya dimulai sekitar masa pertengahan atau akhir abad ketujuh sebelum Masehi, dan berakhir kira-kira pada masa pertengahan abad kedelapan. julukan The "Lao" ditambahkan di akhir namanya, kata ini memiliki arti "Tua".

Zhang Guo Lao adalah paling eksentrik dari dewa lain, salah satunya dapat 
dilihat dari gaya kung fu yang didedikasikan untuk dirinya. gaya ini meliputi 
bergerak seperti memberikan tendangan sambil memutar badan atau tekukan sejauh bahu Anda menyentuh tanah. Dia dikenal cukup menghibur, sering membuat dirinya menghilang, minum dari bunga beracun, memetik burung-burung di langit, serta bunga menjadi layu hanya dengan menunjuk kearah mereka, saat berada dihadapan Kaisar.

Zhang Guolao punya kebiasaan unik, yaitu menunggang keledai putih secara terbalik, sehari berjalan bisa mancapai 10.000 Li. Tentu saja keledai itu juga merupakan keledai khayangan, yang bisa dilipat dan dimasukkan ke dalam tas saat ia sedang tak diperlukan tuannya.
Sangat sedikit yang tahu mengapa dia menunggang keledai secara terbalik. Dia menemukan bahwa dengan berjalan ke depan berarti mundur ke belakang, dia lalu menunggang secara terbalik.

3. Cao Guojiu
Cao Guojiu adalah Dewa terakhir dari Delapan Dewa. Dia ditampilkan dengan pakaian pejabat resmi dan butiran batu giok. Kadang-kadang ia terlihat memegang alat musik. 
keajaiban butiran batu gioknya adalah dapat memurnikan lingkungan.

Cao Guojiu adalah paman dari seorang Kaisar pada zaman Dinasti Song, yaitu adik terkecil dari janda Ibu Suri Cao.
Adik Cao Guojiu, Cao Jingzhi adalah pengganggu, tapi tak ada yang berani 
menuntut dia karena koneksi yang kuat, bahkan setelah dia membunuh 
seseorang. Cao Guojiu begitu kewalahan oleh kelakuan adiknya, merasa sedih dan malu. Akhirnya ia mengundurkan diri kantornya dan kembali pulang.

Suatu hari Zhongli Quan dan Lu Dongbin bertemu dengannya dan menanyakan apa yang sedang dia lakukan. Dia menjawab bahwa dia sedang belajar Tao.

"Apakah itu dan dimanakah itu?", mereka balik bertanya.

Pertama-tama dia menunjuk ke langit dan kemudian ke hatinya.

4. Zhongli Quan
Zhongli Quan adalah salah satu Dewa yang paling kuno dan menjadi pemimpin dari Delapan Dewa (Beberapa orang menganggap Lu Dongbin menjadi pemimpin). Ia juga dikenal sebagai Zhongli Han (Han Zhongli) karena dia lahir pada masa Dinasti Han.
Lahir di Yantai, Zhongli Quan pada masa hidupnya hanya pernah mengabdi pada masa Dinasti Han.

Menurut legenda, cahaya terang memenuhi ruangan saat dia dilahirkan. Setelah lahir, tujuh hari penuh dia terus-menerus menangis tanpa henti.

Zhongli Quan adalah seorang Jenderal dalam kerajaan pada masa Dinasti Han. Biasa digambarkan sebagai laki-laki gemuk bertelanjang perut dan membawa kipas bulu yang dapat mengendalikan lautan dan dapat menghidupkan orang mati.
Pada hari tuanya dia menjadi petapa dan mendalami ajaran Tao.

5. Han Xiang
Han Xiang atau Xiang Zi, adalah Salah satu dari Delapan Dewa.
Han Xiang lahir pada masa Dinasti Tang, dan memiliki nama kehormatan Qingfu. 
Dia adalah kemenakan atau cucu dari Han Yu, seorang negarawan terkemuka di
Pengadilan Tang. Han Xiang belajar Taoisme di bawah bimbingan Lv Dongbin.
Pada suatu perjamuan dengan Han Yu, Han Xiang membujuk Han Yu untuk melepaskan hidupnya sebagai pejabat dan ikut belajar Tao bersama dia. Tapi Han Yu tetap pada pendiriannya dan sebaliknya mengatakan bahwa Han Xiang harus memberikan 
hidupnya untuk Taoisme, bukan Konghucu, jadi Han Xiang menunjukkan 
kemampuan Tao yang dia pelajari dengan menuangkan anggur kedalam cangkir demi cangkir dari labu miliknya tanpa berhenti.
Karena serulingnya dapat memberikan kehidupan, maka Han Xiang juga disebut pemain seruling pemberi perlindungan.


6. Lan Caihe
Dari kedelapan dewa, Lan Caihe adalah dewa yang paling sedikit memiliki informasi. Umur dan jenis kelaminya tidak di ketahui.
Lan biasanya digambarkan dalam pakaian yang tidak jelas, tetapi sering ditampilkan sebagai pemuda atau gadis membawa keranjang bunga yang terbuat dari bambu.
Diceritakan perilaku Lan sering aneh dan eksentrik. Beberapa sumber mengatakan gaun 
Lan Caihe menggunakan gaun biru lusuh, dan dikenal sebagai dewa pelindung para pujangga. Dalam tradisi lain, Lan adalah penyanyi wanita dan memiliki lirik lagu yang dapat memprediksi kejadian masa depan secara akurat.

Dia terbang meninggalkan dunia dengan angsa langit atau burung bangau pergi ke langit. Diceritakan pernah suatu hari ketika berada di sebuah kedai, ia diduga bangun dan pergi ke kamar mandi. Tapi sebelum berangkat pergi dia melepaskan pakaiannya dan terbang dengan burung bangau atau angsa pergi ke langit.

7. He Xian Gu
He Xian Gu adalah satu-satunya dewa perempuan di antara Delapan Dewa.

Ada sumber yang mengatakan He Xian Gu berasal dari daerah Prefektur Yong (hari ini disebut Linglin County, Hunan) pada masa Dinasti Tang, atau dari keluarga kaya dan dermawan di daaerah Zengcheng, Guangdong.

Saat lahir He Xian Gu memiliki enam rambut panjang di kepalanya. Saat berusia 
14 atau 15 tahun, seorang dewa muncul dalam mimpinya dan memberi petunjuk kepada dia untuk makan bubuk mika, agar tubuhnya bisa menjadi sangat ringan
dan abadi. Jadi, ia memakannya, dan juga bersumpah untuk tetap menjaga keperawananya.
Saat mendaki bukit dan menuruni lembah He Xian Gu dapat melintasinya dengan sangat cepat, rasanya melayang seperti makhluk bersayap. Setiap hari saat fajar dia pergi dan kembali di sore hari dengan membawa buah gunung yang dia kumpulkan untuk ibunya. Kemudian lambat laun dia menyerah mengambil makanan biasa. Ratu Wu mengirim utusan untuk memanggil dia datang ke istana, tetapi di jalan, ia menghilang.
Suatu hari pada periode Long Jing (sekitar 707 CE), He Xiangu terbang ke langit
di siang hari bolong, dan menjadi Dewa Tao.

8. Lu Dong Bin
Lu Dongbin pernah dalam satu kali berjanji pada Han Zhongli untuk menyelamatkan semua makhluk hidup. Namun dia belum juga menyelamatkan satu orang pun, kemudian dia melakukan sebuah perjalanan menuju daerah Yue Yang. Dia berada di sana dua tiga kali sebelum mencoba untuk mencapai masyarakat umum. Yue Yang sekarang adalah sebuah wilayah administrasi di Provinsi Hunan, Tiongkok, di tepi danau Dong Ting.

Lu Dongbin menyamar menjadi seorang lelaki tua yang menjual minyak untuk memasak. Dengan cara menjual minyak sebagai dalih untuk bertemu dan memilih orang yang diprospeknya, lalu bila seorang pelanggan terlihat tidak tamak, tidak meminta lebih banyak minyak daripada yang dibayarnya, maka dia akan menolongnya.

Jadi, selama bertahun-tahun dia berkeliling untuk menjual minyak, selama itu para pelanggan yang ditemui semuanya tamak meminta terlalu banyak, kecuali seorang perempuan tua. Bagaimanapun si perempuan tua, hanya mengambil sesuai dengan yang dibayarnya, bahkan tidak lebih satu tetes pun.
Mengejutkan, Lu Dongbin berpikir akhirnya dia menemukan seseorang yang layak diselamatkan. Dia bertanya pada perempuan itu, “Semua yang datang membeli minyak selalu ingin mendapatkan lebih kecuali Anda. Kenapa tidak meminta lebih?”

Si perempuan menjawab, “Saya cukup puas dengan sebuah botol minyak, selain itu sangatlah tidak mudah bagi Anda untuk mencari nafkah dengan menjual minyak. Bagaimana saya boleh meminta lebih?” Kemudian dia menawarkan Lu Dongbin minuman arak untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya.

Lu Dongbin merasa dia adalah seorang prospek yang baik dan bermaksud memberikan penyelamatan kepadanya. Saat dia menemukan ada sebuah sumur di ladangnya, dia menaburkan beberapa biji padi ke dalamnya. Dia berkata pada perempuan itu, “Anda bisa mendapatkan keberuntungan dengan menjual air dalam sumur ini.” Lalu dia beranjak pergi.

Perempuan tua itu berbalik dan menemukan air dalam sumur tersebut telah berubah menjadi arak. Seperti saran Lu Dongbin, perempuan tua itu menjual arak dalam sumur itu dan meraih keberuntungan selama setahun.

Pada suatu hari Lu Dongbin datang kembali ke tempat perempuan tua itu. Si perempuan tua tidak berada di rumah, hanya anak lelakinya yang ada di dalam. Lu Dongbin bertanya padanya, “Bagaimana hasil dari usaha menjual arak?”

“Usahanya berjalan sangat baik, tetapi tidak ada penyulingan biji–biji padi untuk memberikan makanan pada babi-babi.” jawab si anak lelaki. Mendengar perkataannya, Lu Dongbin mendesah. “Ketamakan manusia telah mencapai pada tingkat separah ini.” Maka dia mengambil kembali biji-biji beras dalam sumur tersebut dan berlalu pergi.

Tidak lama kemudian, perempuan tua itu kembali. Anak lelakinya menceritakan apa yang telah terjadi. Dia pergi ke sumur dan melihat ke dalam. Arak di dalamnya telah berubah kembali menjadi air. Si perempuan tua itu bergegas ke pintu, namun Lu Dongbin telah menghilang.

Lu Dongbin meninggalkan Yue Yang menuju Danau Dong Ting dan meninggalkan sebuah puisi yang meratapi sifat manusia, “Tiga kali ke Yue Yang namun belum menemukannya, menyenandungkan sajak saat melintasi Danau Dong Ting.”

Monday 31 August 2015

Dewa Penjaga Pintu

Kebiasaan menempel gambar Dewa Penjaga Pintu pada hari-hari Tahun Baru Imlek bermula padaDinasti Han. Sejak masa Dinasti Tang, Jenderal Qin Shubao dan Yuchi Jingde yang mengabdi kepada Kaisar Li Shimin (李世民) dikenal sebagai Dewa Penjaga Pintu.
Legenda mengatakan bahwa pada masa Dinasti Tang terdapat seorang peramal yang hebat dan sangat tepat dalam meramal, terutama dalam hal perikanan. Keahlian tersebut merisaukan Raja Naga yang menguasai Sungai Jing.
Pada awalnya Raja Naga ingin melenyapkan peramal tersebut, namun setelah mendapat nasehat sang Raja Naga berkeinginan mempermalukan sang peramal.
Maka Raja Naga yang naik ke darat dan menjelma menjadi manusia menemui peramal tersebut.
Raja Naga menantang sang peramal untuk meramal kapan jatuhnya hujan. Jika ramalan tepat akan diberi hadiah 50 keping perak. Jika salah, semua peralatan ramal yang dimiliki akan dihancurkan dan sang peramal tidak diperbolehkan meramal sepanjang hidupnya.
Sang peramal mengatakan bahwa besok akan hujan dan juga meramalkan besarnya hujan tersebut beserta waktunya.
Sang Raja Naga merasa kemenangan di depan mata karena semua urusan mendatangkan hujan adalah wewenangnya. Namun pada saat dia kembali, utusan Kaisar Langit datang membawa perintah agar Raja Naga menurunkan hujan, tepat seperti yang dikatakan oleh sang peramal.
Karena tidak ingin mengakui kekalahan, maka Raja Naga mengubah waktu dan jumlah hujan yang diturunkan.
Setelah menurunkan hujan, Raja Naga lalu menemui sang peramal dan mulai menghancurkan peralatan ramal yang ada. Raja Naga mengatakan bahwa ramalan yang diberikan tidak benar.
Dengan tenangnya sang peramal berkata bahwa sejak awal dia sudah mengetahui bahwa yang datang adalah Raja Naga. Dan Raja Naga, yang mengubah waktu dan besar hujan yang diturunkan, membuat Kaisar Langit marah dan menjatuhkan hukuman mati kepada Raja Naga.
Raja Naga langsung tertegun mendengar hal itu. Akhirnya dia memohon agar sang peramal bersedia menyelamatkan dirinya.
Sang peramal mengatakan agar Raja Naga pergi meminta bantuan Kaisar Li Shimin agar terus menemani Perdana Menteri Wei He, yang diutus untuk membunuh Raja Naga, hingga tengah malam.
Sang Kaisar bersedia menemani Wei He bermain catur hingga larut malam. Dan membuat Wei He tertidur. Kaisar Li merasa Wei He tidak akan dapat melakukan tugasnya karena telah tertidur. Namun dalam tidurnya, Wei He mendatangi Raja Naga dan memberikan hukuman.
Arwah dari Raja Naga sangat marah dan menganggap Kaisar Li lalai sehingga dia terus mengganggu tidur sang kaisar setiap malam.
Dua orang jenderal, Qin Shubao dan Yuchi Jingde, yang melihat penderitaan sang kaisar bersedia menjaga semalam suntuk di depan kamar tidur kaisar agar kaisar dapat tidur nyenyak.
Dengan adanya dua orang jenderal tersebut, sang kaisar dapat tidur dengan tenang dan nyenyak.
Pada keesokan harinya sang kaisar sangat berterima kasih kepada dua jenderal tersebut. Namun dia menyadari bahwa tidak mungkin terus menerus meminta Jenderal Qin dan Yuchi agar terus berjaga setiap malam.
Akhirnya sang kaisar memiliki ide dengan menggambar kedua jenderal dan menempelkannya di depan pintu kamar.
Lama kelamaan kebiasaan kaisar ini tersebar luas dan menjadi sebuah kebiasaan di kalangan bangsa Tionghoa. Sehingga Jenderal Qin dan Yuchi dikenal sebagai Dewa Penjaga Pintu.

Dewi Pelindung Laut Ma Zhu

Orang Tiongkok memujanya sebagai Dewi Pelindung Laut (Pelaut)-Chinese Goddess of The Sea. Punya 36 lebih julukan, namun populer sebagai "Bunda Penolong" atau Shunji Fu Ren yang dianugerahkan seorang kaisar dari Dinasti Song.


Ma Zu (Mandarin) atau Ma Cho (Hock Kian) adalah salah satu dewi dalam kepercayaan orang Tiongkok (termasuk Taiwan). Dipuja karena dikenal sebagai sosok penolong, pelindung (terutama bagi pelaut dan nelayan), dan sangat berbudi luhur. Banyak versi mengenai kisah dewi bernama asli Lin Mo Niang ini, namun semua mengarah pada satu kesamaan. Bahwa ia adalah manusia yang "terpilih" menjadi orang suci.

Legenda Ma Zu (Bunda Pelindung) ini berasal dari masa awal Dinasti Song (960-1279 M) di Tiongkok kuno pada seribu empat puluh tujuh tahun lalu. Adalah keluarga Lin (disebut juga Lim), keturunan mantan Gubernur Provinsi Fu Zian (Tiongkok) bernama Lin Fu. Anaknya bernama Lin Wei Ke menempati sebuah rumah di Provinsi Fu Zian, dekat kota Pu Tian, persisnya di sebuah pulau kecil bernama Mei Zhou (sering juga disebut Pulau Matsu -wilayah RRC).

Lin Wei -seperti juga ayahnya- adalah mantan pejabat pemerintah Tiongkok. Setelah pensiun ia kembali ke kampung halamannya. Menghabiskan masa tuanya dengan bertani dan mempelajari banyak kitab agama dan buku pengetahuan. Ia hidup bahagia, damai dan tenang.

Lin dikenal sebagai orang yang sangat saleh, baik budi, suka menolong dan berderma, sehingga sangat dihormati penduduk Mei Zhou. Dari istri tercintanya Wang Shi, Lin memiliki 6 anak, 5 perempuan dan 1 lelaki. Keenam anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang pintar dan cerdas. Namun anak lelakinya bernama Hong bertubuh sangat lemah dan sakit-sakitan.

Wang Shi, sangat prihatin dan khawatir pada nasib anak lelakinya. Ia dan suaminya Lin, selalu memohon pada Yang Maha Kuasa agar diberi anak lelaki lagi. Namun yang sehat dan kuat sebagai penerus generasi marga Lin.


Kelahiran Lin Mo Niang
Suatu hari, Lin dan Wang melakukan sembahyang khusus di klenteng. Mereka memohon kepada Dewi Kuan Im untuk mengabulkan harapan mereka untuk mendapatkan seorang anak lelaki lagi. Malam harinya setelah pulang dari klenteng, Wang Shi pun bermimpi. Ia bermimpi didatangi Dewi Kuan Im yang mengatakan bahwa semua amal dan kebajikan pasangan Lin dan Wang pantas mendapat balasan. Sang Dewi memberi Wang sebuah pil bundar sebesar kelereng dan menyuruh menelannya. Wang Shi pun menelan pil tersebut.

Setelah menelan pil itu Wang Shi pun mengandung. Ia hamil selama 12 bulan. Tepat pada malam tanggal 23 bulan 3 tahun Imlek (960 M), langit di wilayah Barat Laut Mei Zhou memendarkan cahaya merah terang. Menerangi rumah Lin dan Wang. Dibarengi sinar warna-warni yang memukau, Wang Shi pun melahirkan seorang bayi perempuan.

Walau heran mengapa diberi anak perempuan, Lin dan Wang tetap bersyukur juga. Sebulan sudah kelahirannya, anak tersebut tidak pernah sekali pun menangis. Karena itulah Lin memberi nama padanya Mo Niang (Mo artinya diam; Niang artinya perempuan), "Perempuan Pendiam".

Masa Kecil
Sejak kecil Lin Mo Niang sangat berbeda dari anak seusianya. Ia tampak lebih cerdas, bijak dan terampil. Sejak umur 8 tahun, ia sudah tertarik pada pengetahuan dan buku. Kelebihannya, sekali baca, Mo Niang akan tetap mengingat apa yang telah dibacanya. Jika ada yang ingin diketahuinya, ia selalu rajin bertanya pada orang dewasa, sampai sedetail-detailnya.

Umur 10 tahun, Mo Niang sudah rajin sembahyang dan mempelajari isi kitab-kitab suci Buddha. Sampai akhirnya diusia 13 tahun ia sudah menamatkan semua pelajaran dan menguasai banyak pengetahuan dan keterampilan, termasuk dalam bidang agama dan kepercayaan. Ia berkembang menjadi remaja yang sangat cerdas, kritis dan suka menolong. Ia pun menjadi sangat dihormati penduduk Mei Zhou dan sekitarnya.

Satu kesenangan Mo Niang, yaitu ia sangat menyukai air. Kehidupan di tepi laut menempa dirinya menjadi seorang perempuan yang tak pernah gentar menghadapi dahsyatnya gelombang dan angin badai yang menghantui para pelaut. Di seluruh pulau, ia dikenal sebagai jagoan renang bahkan di gelombang laut yang besar sekali pun.

Saat remaja ini, Mo Niang pernah bertemu seorang pertapa tua. Si pertapa merasa pengetahuan umumnya ternyata masih kalah dengan Mo Niang. Dari "orang pintar" ini lah kemudian Mo Niang mendapat pelajaran mengenai taktik dan strategi militer, pengenalan dan penggunaan alat-alat perang, sampai beberapa ilmu "rahasia" leluhur.

Kebajikan
Ketika menginjak usia 16 tahun, Mo Niang mengalami peristiwa aneh. Suatu hari ia (seperti juga gadis remaja lainnya) sedang mematut diri dengan baju baru di depan cermin bersama teman remaja sebaya di sebuah taman di dekat sebuah sumur. Tiba-tiba , dari dalam sumur muncul sosok lelaki tua misterius. Penampakan itu sangat mengejutkan. Teman-temannya langsung lari ketakutan karena mengira orang tua aneh itu adalah siluman. Namun Mo Niang segera sujud menyembah, karena ia tahu sosok itu adalah jelmaan Dewa. Sang Dewa ternyata membawa sebuah jimat dari kuningan dan memberikannya pada Lin Mo Niang.

Sejak mendapat jimat, Mo Niang pun langsung memanfaatkannya untuk menolong sesama. Ia membantu menyembuhkan orang sakit, memberi penghiburan pada yang bersedih, menjauhkan malapetaka dan banyak perbuatan baik lainnya. Kemahirannya dalam pengobatan ini menyebabkan orang-orang di desa menyebutnya sebagai ling nu (gadis mukjizat), long nu (gadis naga) dan shen gu (bibi yang sakti).

Pernah suatu kali saat usianya baru 17 tahun, Mo Niang melihat ada kapal yang berlayar di dekat Pulau Mei Zhou yang sedang dipermainkan badai besar. Kapal itu tenggelam dengan cepatnya. Namun Mo Niang segera melompat ke laut dan dengan cekatan ia menyelamatkan seluruh pelaut yang terjebak badai tersebut. Semua awak berhasil diselamatkannya. Dari sini banyak orang yang mendengar tentang kehebatan, dan budi baik Mo Niang. Ia pun semakin terkenal dan dihormati.

Ada versi legenda yang mengatakan, pada usia 23 tahun, Mo Niang berhasil menaklukkan 2 orang sakti yang menguasai pegunungan Tao Hua Shan. Keduanya adalah Chien Li Yen yang punya penglihatan sangat tajam dan Hsun Feng Erh yang pendengarannya sangat peka. Setelah dikalahkan akhirnya mereka menjadi pengawalnya.

"Mimpi Buruk"
Lin Mo Niang memang sangat cantik dan baik hati, namun ia tidak pernah menikah. Setidaknya ia memang membaktikan dirinya untuk menolong sesama dan berbuat kebaikan sesuai ajaran kebajikan.

Menginjak usia 28 tahun, di musim panas (sekitar tahun 987 M), sebuah "tragedi" terjadi. Saat itu Lin Mo Niang sedang menenun pakaian. Namun karena lelah, ia pun tertidur pulas.

Sementara itu ayah dan saudaranya sedang berlayar pulang ke Mei Zhou dari perjalanan jauh. Kapal yang mereka tumpangi diserang badai dan akhirnya tenggelam.

Bersamaan dengan itu, Mo Niang bermimpi, ia merasa rohnya melayang-layang di atas permukaan laut. Ia terkejut saat menyaksikan kapal sang ayah tenggelam. Ayah dan saudaranya pun terseret masuk ke dalam amukan badai. Mo Niang segera berenang dan menyelam ke laut untuk menolong mereka. Ia menggigit baju sang ayah sementara dengan tangan yang lain ia menyeret abangnya. Bersusah payah ia mencoba menyelamatkan kedua orang yang dikasihinya itu.

Namun saat penyelamatan masih berlangsung, tiba-tiba ibunya memanggil. Ia pun terkejut dan berteriak kaget, sehingga gigitannya terlepas sementara tangannya tetap menyeret tubuh abangnya. Tetapi saat terbangun Lin Mo Niang mendapati dirinya masih di ruang tenun. Ia pun menceritakan mimpinya itu pada sang ibu. Wang Shi, ibunya, berkata bahwa itu hanya mimpi.

Tetapi tak lama kemudian, sebuah kabar buruk pun datang. Seorang pelaut memberitahu bahwa kapal yang ditumpangi Lin dan putranya tenggelam. Jasad Lin tidak ditemukan, tetapi Hong abangnya berhasil diselamatkan.

Mendengar kabar itu, betapa pilu hati Mo Niang. Dalam keadaan sedih ia pun segera berlayar ke laut. Selama tiga hari tiga malam ia berusaha menemukan jasad ayahnya. Pencariannya tak sia-sia. Ia pun kemudian ke Pantai Mei Zhou bersama jasad sang ayah.


Menjadi Dewi
Sejak kematian sang ayah, Mo Niang setiap hari bersedih dan selalu menangis. Hingga pada tanggal 8 bulan 9 tahun Imlek (987 M), ia pun mengakhiri kepiluannya. Saat itu ia berkata kepada seluruh keluarga dan ibunya bahwa ia akan menyendiri dan menjauhi keramaian duniawi. Ia akan pergi dalam perjalanan yang sangat jauh.

Keesokan harinya, tanggal 9 bulan 9 Imlek (987 M), Lin Mo Niang melakukan persiapan. Ia sembahyang dengan sangat khusyuk sambil merapal kitab-kitab suci. Suasana sangat hening dan memilukan. Seluruh keluarga pun kini yakin bahwa Mo Niang memang bertekad akan pergi jauh.

Ibunya meminta Mo Niang untuk tidak pergi seorang diri dan menawarkan seorang pendamping dalam perjalanannya. Namun Mo Niang menolaknya dengan halus dan menyakinkan seluruh keluarga bahwa kini sudah tiba waktunya untuk pergi seorang diri.

Usai memanjatkan doa, tiba-tiba langit di sekitar kediaman keluarga Lin di Pulau Mei Zhou dikelilingi selubung awan putih. Pendar sinar warna-warni yang indah terlihat di atas langit. Banyak orang yang menyaksikan sinar terang dan sosok Dewi Kuan Im berada di atas sebuah awan yang paling terang.

Lalu tiba-tiba Lin Mo Niang menatap ke atas dan melompat ke awan. Awan tiba-tiba menutup dan terang cahaya semakin memudar. Akhirnya awan membumbung terbang jauh seiring sinar yang menghilang lenyap… langit pun kembali normal. Lin Mo Niang pun lenyap bersama awan…

Klenteng Dewi Ma Zu
Lin Mo Niang tetap dikenang sampai seribuan tahun. Perempuan yang sudah dianggap sebagai Dewi Ma Zu itu, hingga kini tetap dipuja sebagai "Bunda Pelindung" dan "Bunda Penolong" bagi sebagian besar orang Tiongkok.

Setelah "kepergiannya" yang gaib, di Pulau Mei Zhou (Matsu), sebuah klenteng dibangun untuk pemujaannya. Klenteng itu dikenal sebagai Tian Hou Gong (Istana sang Dewi).

Kini, diperkirakan sekitar 5.000-an unit klenteng Ma Zu di dua puluh negara di dunia sudah didirikan. Seluruh klenteng itu dibangun untuk memuja dan sembahyang kepada Dewi Ma Zu oleh sekitar 200 juta jiwa orang yang mempercayainya.

Setiap tahunnya, lebih dari sejuta orang memenuhi klenteng itu untuk sembahyang dan meminta berkat pada Dewi Ma Zu. Karena orang Tiongkok percaya bahwa Dewi Ma Zu bisa melindungi dan mengabulkan segala permohonan mereka. Bahkan kaum pelaut di wilayah pantai dan perairan Timur RRC (termasuk Taiwan) memuja Dewi Ma Zu sebagai Dewi Pelindung Laut. Dewi yang melindungi mereka saat melaut.

Dua tahun sekali, persisnya pada tanggal 23 bulan 3 dalam penanggalan lunar (kalender China/imlek) dan tanggal 9 bulan 9, pemuja Dewi Ma Zu, berkumpul dan melakukan sembahyang di klenteng Dewi Ma Zu untuk menghormatinya. Tanggal 23 bulan 3 adalah peringatan ulang tahunnya dan tanggal 9 bulan 9 adalah peringatan wafatnya.

Hingga kini, Klenteng Ma Zu di Pulau Mei Zhou sebagai klenteng pertama bagi Lin Mo Niang, tetap dipenuhi orang.

Bahkan menjadi salah satu daerah tujuan wisata di Selat Taiwan, Laut China Timur. Klenteng itu dibangun pada masa Dinasti Song sekitar tahun 987 M di puncak sebuah bukit. Ditandai dengan patung Dewi Ma Zu setinggi 14,35 meter. Inilah yang menjadi lambang kebanggaan dan ciri khas budaya penduduk Pulau Mei Zhou.

Sejak tahun 1998, pemerintah Pulau Mei Zhou juga telah membangun sebuah Istana Dewi Ma Zu di dekat klenteng tuanya.

Bangunan istana ini didirikan sepanjang 323 meter dengan lebar bangunan 99 meter. Arsitekturnya ditata seindah mungkin mengikuti garis kontur perbukitan di pulau tersebut. Istana Dewi Ma Zu ini sangat megah.

Mengimbangi kemegahan Potala Palace tempat Dalai Lama Tibet di Lhasa. Bangunan istana untuk menghormati Dewi Ma Zu ini selesai dikerjakan pada 2002. Kini menjadi satu obyek wisata yang cukup tersohor.

Sementara di Indonesia, khususnya di Medan, terdapat juga klenteng Dewi Ma Zu (Dewi Macho) di kawasan Jalan Pandu Medan. Selain itu juga tersebar di tepi pantai timur Sumatera dan daerah lainnya.

Kepercayaan kepada Dewi Ma Zu
Dewi Ma Zu sangat diagungkan di Taiwan. Hampir seluruh warga Taiwan selalu memuja dan menghormati Dewi Ma Zu. Bukan hanya rakyat biasa, para pejabat tinggi pemerintahan juga senantiasa memohon restu padanya.

Bahkan Presiden Taiwan sendiri, Chen Shui-bian, juga kerap mengunjungi klenteng Dewi Ma Zu untuk meminta restu dan perlindungan dari sang dewi, agar ia senantiasa dicintai rakyatnya. Pada saat menjelang Pemilu di Taiwan, banyak kandidat dan tokoh politik yang juga melakukan sembahyang di Klenteng Dewi Ma Zu.

Sementara kisah-kisah rakyat dan para pelaut menyebutkan bahwa penampakan Dewi Ma Zu sering terlihat. Umumnya saat ombak laut sedang mengganas atau badai mendera. Dewi Ma Zu disebutkan hadir untuk menolong para pelaut yang mempercayainya.

Konon kehadiran Dewi Ma Zu ini ditandai dengan sinar merah terang. Mungkin karena sejumlah saksi mata yang pernah terselamatkan dari amuk lautan mengatakan bahwa Dewi Ma Zu senantiasa menggunakan pakaian merah sambil memegang lampion terang benderang yang juga berwarna merah. Dengan panduan lampion tersebut, Dewi Ma Zu membimbing pelaut dan nelayan meniti gelombang menuju tempat yang aman.

Karena itulah Dewi Ma Zu begitu populer dikalangan masyarakat nelayan dan desa-desa tepi laut. Bahkan sejak dulu para pelaut Tiongkok selalu sembahyang kepada Dewi Ma Zu agar diberi keselamatan dalam pelayaran. Mereka juga memasang patung Dewi Ma Zu di kapalnya.

Walau dikenal sebagai Dewi Pelindung Laut, Dewi Ma Zu tetap saja dipuja bukan oleh kalangan nelayan dan pelaut semata. Ia juga dipercaya dapat memberikan berkat untuk menyembuhkan penyakit, menepis bencana dan malapetaka, memberi kesuburan, sampai memberi perlindungan dan keselamatan.