Monday 31 August 2015

Dewa Penjaga Pintu

Kebiasaan menempel gambar Dewa Penjaga Pintu pada hari-hari Tahun Baru Imlek bermula padaDinasti Han. Sejak masa Dinasti Tang, Jenderal Qin Shubao dan Yuchi Jingde yang mengabdi kepada Kaisar Li Shimin (李世民) dikenal sebagai Dewa Penjaga Pintu.
Legenda mengatakan bahwa pada masa Dinasti Tang terdapat seorang peramal yang hebat dan sangat tepat dalam meramal, terutama dalam hal perikanan. Keahlian tersebut merisaukan Raja Naga yang menguasai Sungai Jing.
Pada awalnya Raja Naga ingin melenyapkan peramal tersebut, namun setelah mendapat nasehat sang Raja Naga berkeinginan mempermalukan sang peramal.
Maka Raja Naga yang naik ke darat dan menjelma menjadi manusia menemui peramal tersebut.
Raja Naga menantang sang peramal untuk meramal kapan jatuhnya hujan. Jika ramalan tepat akan diberi hadiah 50 keping perak. Jika salah, semua peralatan ramal yang dimiliki akan dihancurkan dan sang peramal tidak diperbolehkan meramal sepanjang hidupnya.
Sang peramal mengatakan bahwa besok akan hujan dan juga meramalkan besarnya hujan tersebut beserta waktunya.
Sang Raja Naga merasa kemenangan di depan mata karena semua urusan mendatangkan hujan adalah wewenangnya. Namun pada saat dia kembali, utusan Kaisar Langit datang membawa perintah agar Raja Naga menurunkan hujan, tepat seperti yang dikatakan oleh sang peramal.
Karena tidak ingin mengakui kekalahan, maka Raja Naga mengubah waktu dan jumlah hujan yang diturunkan.
Setelah menurunkan hujan, Raja Naga lalu menemui sang peramal dan mulai menghancurkan peralatan ramal yang ada. Raja Naga mengatakan bahwa ramalan yang diberikan tidak benar.
Dengan tenangnya sang peramal berkata bahwa sejak awal dia sudah mengetahui bahwa yang datang adalah Raja Naga. Dan Raja Naga, yang mengubah waktu dan besar hujan yang diturunkan, membuat Kaisar Langit marah dan menjatuhkan hukuman mati kepada Raja Naga.
Raja Naga langsung tertegun mendengar hal itu. Akhirnya dia memohon agar sang peramal bersedia menyelamatkan dirinya.
Sang peramal mengatakan agar Raja Naga pergi meminta bantuan Kaisar Li Shimin agar terus menemani Perdana Menteri Wei He, yang diutus untuk membunuh Raja Naga, hingga tengah malam.
Sang Kaisar bersedia menemani Wei He bermain catur hingga larut malam. Dan membuat Wei He tertidur. Kaisar Li merasa Wei He tidak akan dapat melakukan tugasnya karena telah tertidur. Namun dalam tidurnya, Wei He mendatangi Raja Naga dan memberikan hukuman.
Arwah dari Raja Naga sangat marah dan menganggap Kaisar Li lalai sehingga dia terus mengganggu tidur sang kaisar setiap malam.
Dua orang jenderal, Qin Shubao dan Yuchi Jingde, yang melihat penderitaan sang kaisar bersedia menjaga semalam suntuk di depan kamar tidur kaisar agar kaisar dapat tidur nyenyak.
Dengan adanya dua orang jenderal tersebut, sang kaisar dapat tidur dengan tenang dan nyenyak.
Pada keesokan harinya sang kaisar sangat berterima kasih kepada dua jenderal tersebut. Namun dia menyadari bahwa tidak mungkin terus menerus meminta Jenderal Qin dan Yuchi agar terus berjaga setiap malam.
Akhirnya sang kaisar memiliki ide dengan menggambar kedua jenderal dan menempelkannya di depan pintu kamar.
Lama kelamaan kebiasaan kaisar ini tersebar luas dan menjadi sebuah kebiasaan di kalangan bangsa Tionghoa. Sehingga Jenderal Qin dan Yuchi dikenal sebagai Dewa Penjaga Pintu.

Dewi Pelindung Laut Ma Zhu

Orang Tiongkok memujanya sebagai Dewi Pelindung Laut (Pelaut)-Chinese Goddess of The Sea. Punya 36 lebih julukan, namun populer sebagai "Bunda Penolong" atau Shunji Fu Ren yang dianugerahkan seorang kaisar dari Dinasti Song.


Ma Zu (Mandarin) atau Ma Cho (Hock Kian) adalah salah satu dewi dalam kepercayaan orang Tiongkok (termasuk Taiwan). Dipuja karena dikenal sebagai sosok penolong, pelindung (terutama bagi pelaut dan nelayan), dan sangat berbudi luhur. Banyak versi mengenai kisah dewi bernama asli Lin Mo Niang ini, namun semua mengarah pada satu kesamaan. Bahwa ia adalah manusia yang "terpilih" menjadi orang suci.

Legenda Ma Zu (Bunda Pelindung) ini berasal dari masa awal Dinasti Song (960-1279 M) di Tiongkok kuno pada seribu empat puluh tujuh tahun lalu. Adalah keluarga Lin (disebut juga Lim), keturunan mantan Gubernur Provinsi Fu Zian (Tiongkok) bernama Lin Fu. Anaknya bernama Lin Wei Ke menempati sebuah rumah di Provinsi Fu Zian, dekat kota Pu Tian, persisnya di sebuah pulau kecil bernama Mei Zhou (sering juga disebut Pulau Matsu -wilayah RRC).

Lin Wei -seperti juga ayahnya- adalah mantan pejabat pemerintah Tiongkok. Setelah pensiun ia kembali ke kampung halamannya. Menghabiskan masa tuanya dengan bertani dan mempelajari banyak kitab agama dan buku pengetahuan. Ia hidup bahagia, damai dan tenang.

Lin dikenal sebagai orang yang sangat saleh, baik budi, suka menolong dan berderma, sehingga sangat dihormati penduduk Mei Zhou. Dari istri tercintanya Wang Shi, Lin memiliki 6 anak, 5 perempuan dan 1 lelaki. Keenam anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang pintar dan cerdas. Namun anak lelakinya bernama Hong bertubuh sangat lemah dan sakit-sakitan.

Wang Shi, sangat prihatin dan khawatir pada nasib anak lelakinya. Ia dan suaminya Lin, selalu memohon pada Yang Maha Kuasa agar diberi anak lelaki lagi. Namun yang sehat dan kuat sebagai penerus generasi marga Lin.


Kelahiran Lin Mo Niang
Suatu hari, Lin dan Wang melakukan sembahyang khusus di klenteng. Mereka memohon kepada Dewi Kuan Im untuk mengabulkan harapan mereka untuk mendapatkan seorang anak lelaki lagi. Malam harinya setelah pulang dari klenteng, Wang Shi pun bermimpi. Ia bermimpi didatangi Dewi Kuan Im yang mengatakan bahwa semua amal dan kebajikan pasangan Lin dan Wang pantas mendapat balasan. Sang Dewi memberi Wang sebuah pil bundar sebesar kelereng dan menyuruh menelannya. Wang Shi pun menelan pil tersebut.

Setelah menelan pil itu Wang Shi pun mengandung. Ia hamil selama 12 bulan. Tepat pada malam tanggal 23 bulan 3 tahun Imlek (960 M), langit di wilayah Barat Laut Mei Zhou memendarkan cahaya merah terang. Menerangi rumah Lin dan Wang. Dibarengi sinar warna-warni yang memukau, Wang Shi pun melahirkan seorang bayi perempuan.

Walau heran mengapa diberi anak perempuan, Lin dan Wang tetap bersyukur juga. Sebulan sudah kelahirannya, anak tersebut tidak pernah sekali pun menangis. Karena itulah Lin memberi nama padanya Mo Niang (Mo artinya diam; Niang artinya perempuan), "Perempuan Pendiam".

Masa Kecil
Sejak kecil Lin Mo Niang sangat berbeda dari anak seusianya. Ia tampak lebih cerdas, bijak dan terampil. Sejak umur 8 tahun, ia sudah tertarik pada pengetahuan dan buku. Kelebihannya, sekali baca, Mo Niang akan tetap mengingat apa yang telah dibacanya. Jika ada yang ingin diketahuinya, ia selalu rajin bertanya pada orang dewasa, sampai sedetail-detailnya.

Umur 10 tahun, Mo Niang sudah rajin sembahyang dan mempelajari isi kitab-kitab suci Buddha. Sampai akhirnya diusia 13 tahun ia sudah menamatkan semua pelajaran dan menguasai banyak pengetahuan dan keterampilan, termasuk dalam bidang agama dan kepercayaan. Ia berkembang menjadi remaja yang sangat cerdas, kritis dan suka menolong. Ia pun menjadi sangat dihormati penduduk Mei Zhou dan sekitarnya.

Satu kesenangan Mo Niang, yaitu ia sangat menyukai air. Kehidupan di tepi laut menempa dirinya menjadi seorang perempuan yang tak pernah gentar menghadapi dahsyatnya gelombang dan angin badai yang menghantui para pelaut. Di seluruh pulau, ia dikenal sebagai jagoan renang bahkan di gelombang laut yang besar sekali pun.

Saat remaja ini, Mo Niang pernah bertemu seorang pertapa tua. Si pertapa merasa pengetahuan umumnya ternyata masih kalah dengan Mo Niang. Dari "orang pintar" ini lah kemudian Mo Niang mendapat pelajaran mengenai taktik dan strategi militer, pengenalan dan penggunaan alat-alat perang, sampai beberapa ilmu "rahasia" leluhur.

Kebajikan
Ketika menginjak usia 16 tahun, Mo Niang mengalami peristiwa aneh. Suatu hari ia (seperti juga gadis remaja lainnya) sedang mematut diri dengan baju baru di depan cermin bersama teman remaja sebaya di sebuah taman di dekat sebuah sumur. Tiba-tiba , dari dalam sumur muncul sosok lelaki tua misterius. Penampakan itu sangat mengejutkan. Teman-temannya langsung lari ketakutan karena mengira orang tua aneh itu adalah siluman. Namun Mo Niang segera sujud menyembah, karena ia tahu sosok itu adalah jelmaan Dewa. Sang Dewa ternyata membawa sebuah jimat dari kuningan dan memberikannya pada Lin Mo Niang.

Sejak mendapat jimat, Mo Niang pun langsung memanfaatkannya untuk menolong sesama. Ia membantu menyembuhkan orang sakit, memberi penghiburan pada yang bersedih, menjauhkan malapetaka dan banyak perbuatan baik lainnya. Kemahirannya dalam pengobatan ini menyebabkan orang-orang di desa menyebutnya sebagai ling nu (gadis mukjizat), long nu (gadis naga) dan shen gu (bibi yang sakti).

Pernah suatu kali saat usianya baru 17 tahun, Mo Niang melihat ada kapal yang berlayar di dekat Pulau Mei Zhou yang sedang dipermainkan badai besar. Kapal itu tenggelam dengan cepatnya. Namun Mo Niang segera melompat ke laut dan dengan cekatan ia menyelamatkan seluruh pelaut yang terjebak badai tersebut. Semua awak berhasil diselamatkannya. Dari sini banyak orang yang mendengar tentang kehebatan, dan budi baik Mo Niang. Ia pun semakin terkenal dan dihormati.

Ada versi legenda yang mengatakan, pada usia 23 tahun, Mo Niang berhasil menaklukkan 2 orang sakti yang menguasai pegunungan Tao Hua Shan. Keduanya adalah Chien Li Yen yang punya penglihatan sangat tajam dan Hsun Feng Erh yang pendengarannya sangat peka. Setelah dikalahkan akhirnya mereka menjadi pengawalnya.

"Mimpi Buruk"
Lin Mo Niang memang sangat cantik dan baik hati, namun ia tidak pernah menikah. Setidaknya ia memang membaktikan dirinya untuk menolong sesama dan berbuat kebaikan sesuai ajaran kebajikan.

Menginjak usia 28 tahun, di musim panas (sekitar tahun 987 M), sebuah "tragedi" terjadi. Saat itu Lin Mo Niang sedang menenun pakaian. Namun karena lelah, ia pun tertidur pulas.

Sementara itu ayah dan saudaranya sedang berlayar pulang ke Mei Zhou dari perjalanan jauh. Kapal yang mereka tumpangi diserang badai dan akhirnya tenggelam.

Bersamaan dengan itu, Mo Niang bermimpi, ia merasa rohnya melayang-layang di atas permukaan laut. Ia terkejut saat menyaksikan kapal sang ayah tenggelam. Ayah dan saudaranya pun terseret masuk ke dalam amukan badai. Mo Niang segera berenang dan menyelam ke laut untuk menolong mereka. Ia menggigit baju sang ayah sementara dengan tangan yang lain ia menyeret abangnya. Bersusah payah ia mencoba menyelamatkan kedua orang yang dikasihinya itu.

Namun saat penyelamatan masih berlangsung, tiba-tiba ibunya memanggil. Ia pun terkejut dan berteriak kaget, sehingga gigitannya terlepas sementara tangannya tetap menyeret tubuh abangnya. Tetapi saat terbangun Lin Mo Niang mendapati dirinya masih di ruang tenun. Ia pun menceritakan mimpinya itu pada sang ibu. Wang Shi, ibunya, berkata bahwa itu hanya mimpi.

Tetapi tak lama kemudian, sebuah kabar buruk pun datang. Seorang pelaut memberitahu bahwa kapal yang ditumpangi Lin dan putranya tenggelam. Jasad Lin tidak ditemukan, tetapi Hong abangnya berhasil diselamatkan.

Mendengar kabar itu, betapa pilu hati Mo Niang. Dalam keadaan sedih ia pun segera berlayar ke laut. Selama tiga hari tiga malam ia berusaha menemukan jasad ayahnya. Pencariannya tak sia-sia. Ia pun kemudian ke Pantai Mei Zhou bersama jasad sang ayah.


Menjadi Dewi
Sejak kematian sang ayah, Mo Niang setiap hari bersedih dan selalu menangis. Hingga pada tanggal 8 bulan 9 tahun Imlek (987 M), ia pun mengakhiri kepiluannya. Saat itu ia berkata kepada seluruh keluarga dan ibunya bahwa ia akan menyendiri dan menjauhi keramaian duniawi. Ia akan pergi dalam perjalanan yang sangat jauh.

Keesokan harinya, tanggal 9 bulan 9 Imlek (987 M), Lin Mo Niang melakukan persiapan. Ia sembahyang dengan sangat khusyuk sambil merapal kitab-kitab suci. Suasana sangat hening dan memilukan. Seluruh keluarga pun kini yakin bahwa Mo Niang memang bertekad akan pergi jauh.

Ibunya meminta Mo Niang untuk tidak pergi seorang diri dan menawarkan seorang pendamping dalam perjalanannya. Namun Mo Niang menolaknya dengan halus dan menyakinkan seluruh keluarga bahwa kini sudah tiba waktunya untuk pergi seorang diri.

Usai memanjatkan doa, tiba-tiba langit di sekitar kediaman keluarga Lin di Pulau Mei Zhou dikelilingi selubung awan putih. Pendar sinar warna-warni yang indah terlihat di atas langit. Banyak orang yang menyaksikan sinar terang dan sosok Dewi Kuan Im berada di atas sebuah awan yang paling terang.

Lalu tiba-tiba Lin Mo Niang menatap ke atas dan melompat ke awan. Awan tiba-tiba menutup dan terang cahaya semakin memudar. Akhirnya awan membumbung terbang jauh seiring sinar yang menghilang lenyap… langit pun kembali normal. Lin Mo Niang pun lenyap bersama awan…

Klenteng Dewi Ma Zu
Lin Mo Niang tetap dikenang sampai seribuan tahun. Perempuan yang sudah dianggap sebagai Dewi Ma Zu itu, hingga kini tetap dipuja sebagai "Bunda Pelindung" dan "Bunda Penolong" bagi sebagian besar orang Tiongkok.

Setelah "kepergiannya" yang gaib, di Pulau Mei Zhou (Matsu), sebuah klenteng dibangun untuk pemujaannya. Klenteng itu dikenal sebagai Tian Hou Gong (Istana sang Dewi).

Kini, diperkirakan sekitar 5.000-an unit klenteng Ma Zu di dua puluh negara di dunia sudah didirikan. Seluruh klenteng itu dibangun untuk memuja dan sembahyang kepada Dewi Ma Zu oleh sekitar 200 juta jiwa orang yang mempercayainya.

Setiap tahunnya, lebih dari sejuta orang memenuhi klenteng itu untuk sembahyang dan meminta berkat pada Dewi Ma Zu. Karena orang Tiongkok percaya bahwa Dewi Ma Zu bisa melindungi dan mengabulkan segala permohonan mereka. Bahkan kaum pelaut di wilayah pantai dan perairan Timur RRC (termasuk Taiwan) memuja Dewi Ma Zu sebagai Dewi Pelindung Laut. Dewi yang melindungi mereka saat melaut.

Dua tahun sekali, persisnya pada tanggal 23 bulan 3 dalam penanggalan lunar (kalender China/imlek) dan tanggal 9 bulan 9, pemuja Dewi Ma Zu, berkumpul dan melakukan sembahyang di klenteng Dewi Ma Zu untuk menghormatinya. Tanggal 23 bulan 3 adalah peringatan ulang tahunnya dan tanggal 9 bulan 9 adalah peringatan wafatnya.

Hingga kini, Klenteng Ma Zu di Pulau Mei Zhou sebagai klenteng pertama bagi Lin Mo Niang, tetap dipenuhi orang.

Bahkan menjadi salah satu daerah tujuan wisata di Selat Taiwan, Laut China Timur. Klenteng itu dibangun pada masa Dinasti Song sekitar tahun 987 M di puncak sebuah bukit. Ditandai dengan patung Dewi Ma Zu setinggi 14,35 meter. Inilah yang menjadi lambang kebanggaan dan ciri khas budaya penduduk Pulau Mei Zhou.

Sejak tahun 1998, pemerintah Pulau Mei Zhou juga telah membangun sebuah Istana Dewi Ma Zu di dekat klenteng tuanya.

Bangunan istana ini didirikan sepanjang 323 meter dengan lebar bangunan 99 meter. Arsitekturnya ditata seindah mungkin mengikuti garis kontur perbukitan di pulau tersebut. Istana Dewi Ma Zu ini sangat megah.

Mengimbangi kemegahan Potala Palace tempat Dalai Lama Tibet di Lhasa. Bangunan istana untuk menghormati Dewi Ma Zu ini selesai dikerjakan pada 2002. Kini menjadi satu obyek wisata yang cukup tersohor.

Sementara di Indonesia, khususnya di Medan, terdapat juga klenteng Dewi Ma Zu (Dewi Macho) di kawasan Jalan Pandu Medan. Selain itu juga tersebar di tepi pantai timur Sumatera dan daerah lainnya.

Kepercayaan kepada Dewi Ma Zu
Dewi Ma Zu sangat diagungkan di Taiwan. Hampir seluruh warga Taiwan selalu memuja dan menghormati Dewi Ma Zu. Bukan hanya rakyat biasa, para pejabat tinggi pemerintahan juga senantiasa memohon restu padanya.

Bahkan Presiden Taiwan sendiri, Chen Shui-bian, juga kerap mengunjungi klenteng Dewi Ma Zu untuk meminta restu dan perlindungan dari sang dewi, agar ia senantiasa dicintai rakyatnya. Pada saat menjelang Pemilu di Taiwan, banyak kandidat dan tokoh politik yang juga melakukan sembahyang di Klenteng Dewi Ma Zu.

Sementara kisah-kisah rakyat dan para pelaut menyebutkan bahwa penampakan Dewi Ma Zu sering terlihat. Umumnya saat ombak laut sedang mengganas atau badai mendera. Dewi Ma Zu disebutkan hadir untuk menolong para pelaut yang mempercayainya.

Konon kehadiran Dewi Ma Zu ini ditandai dengan sinar merah terang. Mungkin karena sejumlah saksi mata yang pernah terselamatkan dari amuk lautan mengatakan bahwa Dewi Ma Zu senantiasa menggunakan pakaian merah sambil memegang lampion terang benderang yang juga berwarna merah. Dengan panduan lampion tersebut, Dewi Ma Zu membimbing pelaut dan nelayan meniti gelombang menuju tempat yang aman.

Karena itulah Dewi Ma Zu begitu populer dikalangan masyarakat nelayan dan desa-desa tepi laut. Bahkan sejak dulu para pelaut Tiongkok selalu sembahyang kepada Dewi Ma Zu agar diberi keselamatan dalam pelayaran. Mereka juga memasang patung Dewi Ma Zu di kapalnya.

Walau dikenal sebagai Dewi Pelindung Laut, Dewi Ma Zu tetap saja dipuja bukan oleh kalangan nelayan dan pelaut semata. Ia juga dipercaya dapat memberikan berkat untuk menyembuhkan penyakit, menepis bencana dan malapetaka, memberi kesuburan, sampai memberi perlindungan dan keselamatan.

Cap Pwe Lo Han - 18 Arahat

Kalau anda berkesempatan berkunjung atau sembahyang ke Buddhist Temple Jindeyuan – Jakarta / Kelenteng Kim Tek Ie, maka akan terlihat Rupang 十八羅漢 Shi Ba Luo Han {Hok Kian: Cap Pwe Lo Han} yang berhadapan di kedua sisi kiri & kanan (atau berada di sisi Timur & Barat) ruang altar utama  dengan berbagai gaya yang lincah & hidup, dan dengan bentuk ekspresi yang banyak. Sungguh mengundang orang untuk berpikir, & tak terhindarkan membuat orang melihat lagi beberapa kali.

羅漢 Luo Han {Lo Han} dalam agama Buddha menunjuk kepada orang yang telah terbebas dari tumimbal lahir, seorang pembina diri yang telah berhasil mencapai kesucian, setingkat di bawah Bodhisatva. Lo Han berarti Arahat, siswa Sang Buddha yang telah memusnahkan segala nafsu. Apabila Buddha Maitreya dilahirkan ke dunia, maka para Arahat tersebut akan mengumpulkan semua relik Sang Buddha Sakyamuni & membangun sebuah pagoda di atas relik tersebut. Lo Han disebut juga 尊者 Zun Zhe {Cun Cia} yang berarti “Yang Suci” atau “Yang Patut Dihormati”.

Cap Pwe Lo Han (18 Arahat) yang dikenal di kalangan rakyat, adalah berasal dari 十六羅漢 Shi Liu Luo Han {Cap Lak Lo Han} 16 Arahat. Belakangan lebih berkembang lagi menjadi 五百羅漢 Wu Bai Luo Han {Go Pe Lo Han} 500 Arahat.

16 Arahat adalah murid Sang Buddha Sakyamuni, mereka adalah persaudaraan Bhikkhu Sangha yang menjaga Dharma Sang Buddha. Oleh karena itu mereka disebut juga sebagaiLo Han Seng Ceng (Yang Arya Bikkhu Sempurna). Para Lo Han ini telah mendapatkan pesan & bimbingan dari Sang Buddha, tidak memasuki Nirwana, sering berada di dunia, menerima penghormatan dari orang-orang di dunia, & memberikan berkah kepada umat manusia.

Menurut kepercayaan, para Lo Han tersebut diberi kekuasaan di berbagai tempat di dunia ini. Di tiap tempat Lo Han yang berkuasa, dibantu oleh sekelompok Lo Han bawahan yang terdiri dari 500 – 1.600 orang. Mereka umumnya berasal dari orang-orang yang pernah berbuat kesalahan, dan kemudian insyaf setelah menghayati ajaran-ajaran Sang Buddha. Kemudian para Lo Han ini menjadi penyebar Dharma yang tangguh.

Menurut sejarah, catatan tentang para Lo Han diperkenalkan di Tiongkok bersamaan dengan menyebarnya agama Buddha di sana. Umumnya catatan-catatan tersebut diterjemahkan & dibawa ke Tiongkok oleh musafir Tiongkok seperti Fa Xian & Xuan Zhang. Fa Xian adalah seorang Bikkhu yang pergi ke India & Ceylon (Sri Lanka) pada tahun 399 M. Sedangkan Xuan Zhang  pergi ke India pada zaman Dinasti Tang pada tahun 629.

Dalam buku Taiwan Wen Xian (Persembahan Sastra dari Taiwan), disebutkan bahwa di antara 18 Lo Han ini, yang tercatat dalam Kitab Suci Buddha hanya 16, sedangkan 2 Lo Han lagi ditambahkan oleh penganut Buddha di Tiongkok sehingga lengkap 18 & disebut Shi Ba Luo Han {Cap Pwe Lo Han} yang berarti 18 Arahat.

Cap Lak Lo Han (16 Arahat) yang berasal dari India adalah sebagai berikut (urutan adalah berdasarkan posisi di altar utama Kim Tek Ie di mana no. 1 s/d 8 ada di depan altar Kwan Kong, sedangkan no. 9 s/d 16 ada di depan altar Ma Co) :
  1. 阿氏多尊者 A Shi Duo Zun Zhe (Sansekerta: Ajita). Ajita dianggap sebagai reinkarnasi dariMi Le Fo {Bi Lek Hut} Buddha Maitreya. Di Tiongkok, A She Duo Zun Zhe terkenal sebagai Bu Dai Zun Zhe {Po Tay Cun Cia} atau Bu Dai He Shang {Po Tay Hwe Sio}yang berarti Bikkhu dengan kantong dari kain. Ajita digambarkan sebagai seorang Bikkhu yang menggendong kantong besar yang diikatkan di punggungnya. Di dalam kantong itu terdapat banyak perampok & pencuri serta orang jahat lainnya. Menurut legenda ia hidup pada kira-kira abad ke-6 Masehi.
    Ajita
  2. 羅睢羅尊者 Luo Sui Luo Zun Zhe (Sansekerta: Rahula). Rahula adalah putra Pangeran Siddharta Gautama. Luo Hu Luo adalah seorang murid Buddha yang amat rajin & sangat taat akan hukum-hukum Buddhisme, setelah menyadari bahwa hidupnya penuh kesesatan. Orang-orang percaya bahwa ia akhirnya akan kembali ke dunia sebagai putra Sang Buddha. Sekarang ia bertanggung jawab atas suatu daerah yang penuh keharuman tanaman obat, dengan dibantu oleh 1.000 Arahat pembantu. Luo Hu Luo biasanya ditampilkan dengan wajah luar biasa, kepala berbentuk kubah & alis mata yang tebal. Secara umum ia disebut sebagai Xi She Zun Zhe {Hok Kian: Hi Say Cun Cia}. Disebut demikian karena ia sering digambarkan dengan membawa seekor singa kecil di tangannya.
    Rahula
  3. 伐那婆斯尊者 Fa Na Bo Si Zun Zhe (Sansekerta: Vanavasa). Vanavasa adalah penguasa pegunungan Gan Zhou & membawahi 1.400 Lo Han sebagai pembantu-pembantunya. Ia sering dilukiskan sebagai seorang pertapa yang sedang bersemedi dengan mata tertutup. Ia juga disebut sebagai  Long Po Zun Zhe {Lang Pwat Cun Cia} yang berarti orang suci yang memainkan kecer. Disebut demikian karena beliau sering ditampilkan dengan membawa kecer.
    Vanavasa
  4. 賓頭羅跋羅惰闍尊者 Bin Tou Lo Ba Lo Duo She Zun Zhe (Sansekerta: Pindola Bharadvaja) mempunyai wilayah kekuasaan di wilayah Surga Barat sebelah Barat. Menurut legenda, pada waktu usia muda, ia adalah seorang yang sangat kejam & amat tidak patuh pada orangtuanya. Ia kemudian dilemparkan ke Neraka & harus memakan karang & batu-bata sebagai santapan sehari-hari. Karena penderitaan ini badan menjadi kurus kering. Tapi kemudian ia menyesali dosa-dosanya & menjadi penganut ajaran Buddha. Ia menjadi salah satu murid Sang Buddha yang terkemuka & punya Lo Han bawahan sebanyak 1.000 orang. Ia mempunyai kesaktian antara lain dapat terbang di udara & terapung di atas air. Seringkali ia ditampilkan dengan membawa buku yang sedang terbuka di atas pahanya & sebatang tongkat pengemis yang tersandar di sampingnya.
    Pindola Bharadvaja
  5. 諾距羅尊者 Nuo Ju Luo Zun Zhe (Sansekerta: Nakula) disebut juga sebagai Puchulo. Nakula menguasai wilayah India, mempunyai bawahan sebanyak 800 Arahat yang menjadi pembantu-pembantunya. Ia berhasil melepaskan diri dari kehidupan sesat & memeluk ajaran Buddha pada usia 120 tahun. Seringkali ditampilkan dengan kedua tangan membuka dadanya, dan dalam rongga itu terlihat wajah sang Buddha Sakyamuni. Oleh karena itu beliau secara umum disebut Kai Xin Zun Zhe {Khai Sim Cun Cia} yang berarti “Orang terhormat yang membuka hati”.
    Nakula
  6. 注荼半托迦尊者 Zhu Tu Ban Tuo Jia Zun Zhe (Sansekerta: Pantha, Choto Phanthaka). Pada usia muda ia bebal & sulit mencerna pelajaran. Namun dengan bantuan Buddha Sakyamuni ia menjadi rajin & sangat cerdas. Akhirnya ia mencapai tingkat Arahat & masuk Nirwana. Karena Pantha memiliki kesaktian terbang, ia ditunjuk sebagai penguasa pegunungan Ishidara dengan dibantu oleh 1.600 Arahat bawahan. Ia adalah adik kandung Panthoka, merupakan salah satu murid kesayangan Sang Buddha. Ia digambarkan sebagai seorang tua yang bersandar di batang pohon tua memegang kipas sambil mengajar Dharma. Dalam kalangan Tionghoa ia disebut juga Jin Guo Zun Zhe {Cin Ko Cun Cia} yang berarti “Orang suci yang mempersembahkan buah”.
    Pantha, Choto Phanthaka
  7. 迦諾迦跋喱惰闍尊者 Jia Nuo Jia Ba Li Duo She Zun Zhe (Sansekerta: Kanaka Baridvaja) disebut juga Pin Tou Lo Suo She atau Pinkola yang muda. Ia bertugas di wilayah Purva Videha dibantu oleh 600 Arahat bawahan & sering digambarkan berjenggot. Di Tiongkok ia disebut juga Fei Zhang Zun Zhe {Hui Tiang Cun Cia} atau “Lo Han dengan tongkat terbang”.
    Kanaka Baridvaja
  8. 戍博迦尊者 Shu Bo Jia Zun Zhe (Sansekerta: Gobaka). Beliau berkedudukan di Pegunungan Gandhamadana, dengan 900 orang Arahat pembantunya. Sering ditampilkan dalam keadaan semedi, dengan tangan memegang kipas. Dalam bahasa Tionghoa ia sering disebut sebagai Jin Xiang Zun Zhe {Cin Hio Cun Cia} yang berarti “Orang terhormat yang mempersembahkan dupa”.
  9. 迦理迦尊者 Jia Li Jia Zun Zhe (Sansekerta: Kalika) dikenal juga sebagai Kala. Ia mempunyai kekuasaan di wilayah Sri Lanka. Dalam legenda ia adalah Raja Kala yang mencapai tingkatan Arahat setelah melalui pengorbanan. Ia mempunyai bawahan yang terdiri dari 1.000 Arahat. Kalika seringkali ditampilkan sedang bermeditasi atau sedang membersihkan telinga. Oleh karena itu ia disebut juga sebagai Xi Er Zun Zhe atau “Orang suci yang membersihkan telinga”.
  10. 伐闍羅弗多羅尊者 Fa She Luo Fu Duo Luo Zun Zhe (Sansekerta: Vajra Putra). Wilayah kekuasaannya adalah di Parnadvipa & dibantu oleh 1.100 Arahat. Secara umum ia disebut juga sebagai Duo Li Zun Zhe {To Li Cun Cia} yang berarti “Orang terhormat yang memberikan keuntungan berlimpah”.
  11. 那迦犀那尊者 Na Jia Xi Na Zun Zhe (Sansekerta: Nagasina) memiliki kekuasaan di Gunung Pandhava, wilayah Inagadha, dengan dibantu oleh 1.200 Arahat.  Lo Han ini terkenal suka humor tapi cerdik. Nagasina adalah seorang penceramah & guru yang ulung dalam ajaran Buddha Dharma. Beliau sering disebut juga sebagai Jin Deng Zun Zhe {Cin Teng Cun Cia} atau “Lo Han yang membawa penerangan”.
  12. 蘇頻陀尊者 Su Pin Tuo Zun Zhe (Sansekerta: Subhinda) biasanya ditampilkan sebagai seorang suci yang terpelajar, dengan mangkok untuk minta sedekah & sebuah kitab suci di tangan kirinya. Jari-jari tangan kanannya membentuk Mudra yang menyatakan bahwa ia akan masuk ke Nirwana dalam waktu singkat. Wilayah kekuasaan Lo Han ini berada di Negeri Kuru dengan dibantu 800 Arahat. Secara umum ia disebut sebagai Dao Wu Zun Zhe {To Ngo Cun Cia} yang berarti “Orang suci yang menginsafi Tao”.
  13. 跋陀羅尊者 Ba Tuo Luo Zun Zhe (Sansekerta: Badra) digambarkan sebagai orang perkasa yang menaklukkan seekor harimau, sebagai lambang kesaktian & kekuatannya dalam menaklukkan kejahatan secara umum. Lo Han ini disebut juga sebagai Fu Hu Zun Zhe {Hok Ho Cun Cia} yang berarti “Orang suci yang menaklukkan harimau”.
  14. 迦諾迦伐蹉尊者 Jia Nuo Jia Fa Cuo Zun Zhe (Sansekerta: Kanaka Vasa) mempunyai kekuasaan di suatu tempat di Kashmir, India & mempunyai bawahan sebanyak 500 Arahat. Setelah menjadi pengikut Buddha, ia rajin belajar & menjadi orang yang amat berpengetahuan. Lo Han ini dilukiskan sebagai orang yang berparas luar biasa & beralis panjang. Secara umum ia disebut juga sebagai Chang Mei Zun Zhe {Tiong Bi Cun Cia}atau “Orang terhormat yang beralis panjang”.
  15. 半托迦尊者 Ban Tuo Jia Zun Zhe (Sansekerta: Pantoka, Pantha) berada di Sorga Troyastrimsat dengan dibantu oleh 1.300 Arahat. Nama Pantoka berarti “Melanjutkan jalan & penyebaran agama Buddha”. Menurut legenda ia dilahirkan pada saat ibunya sedang dalam perjalanan. Ia bertemu Sang Buddha & mengikuti pelajarannya, sampai akhirnya mencapai Nirwana. Lo Han ini memiliki kesaktian antara lain dapat menembus benda-benda padat & pergi tanpa meninggalkan bekas. Secara umum ia disebut juga sebagai Bai Na Zun Zhe {Pek Lap Cun Cia}.
  16. 因揭陀尊者 Yin Jie Tuo Zun Zhe (Sansekerta: Angida) menguasai pegunungan yang disebut Guang Xie, dibantu oleh 1.300 Arahat sebagai bawahannya. Dalam dewa rupang ia sering diwujudkan sebagai seorang pendeta tua yang membawa tongkat kayu & kitab suci. Di Tiongkok Lo Han ini sering disebut juga sebagai Jin Hua Zun Zhe {Cin Hwa Cun Cia}atau “Orang suci yang mempersembahkan bunga”.
Setelah masuk ke Tiongkok, dari ke-16 Arahat ini, Yin He Tuo Zun Zhe digantikan oleh Da Mo Zu Shi {Tat Mo Co Su} atau Patriach Bodhidharma pendiri Buddhisme Zen (aliran Chan). Di Kim Tek Ie, Shu Bo Jia Zun Zhe digantikan oleh 慶友尊者 Qing You Zun Zhe {Khing Yu Cun Cia}.
Cap Lak Lo Han (16 Arahat) yang disebut di atas, setelah ditambahkan 2 Lo Han lagi lengkap menjadi Cap Pwe Lo Han (18 Arahat). Lo Han ke-17 & Lohan ke-18 yang ditambahkan ada berbagai versi. Ada yang Qing You Zun Zhe & Bin Tou Luo, ada yang Jia Da Mu Duo Luo & Bu Dai He Shang. Ada juga Jia Ye Zun Zhe & Mi Le Zun Zhe. Versi lain adalah tambahan 2 Lo Han yaitu: Nandimitra & Pindola muda. Ada juga versi yang memasukkan Ji Gong Huo Fo {Chi Kung Huo Hut} ke dalam salah satu dari Cap Pwe Lo Han.
Di Tiongkok & Taiwan Cap Pwe Lo Han berubah menjadi versi Tionghoa, ada beberapa adalah orang Tiongkok yang dimasukkan ke dalam jajaran Cap Pwe Lo Han, seperti: Kaisar Liang Wu Di [502 – 549 M]; seorang kaisar yang hidup pada zaman Dinasti Liang [502 – 557 M], dan Zhi Kuan; seorang Bikkhu pada zaman Dinasti Tang [618 – 907 M].
Di Kim Tek Ie, 2 Pho Sat (Bodhisatva) ditambahkan ke Cap Lak Lo Han sehingga menjadi 18 & ditempatkan di jajaran Cap Pwe Lo Han, yaitu : 文殊菩薩 Wen Shu Pu Sa {Bun Su Pho Sat} Bodhisatva Manjusri yang berada di depan altar Kwan Kong & 普賢菩薩 Pu Xian Pu Sa {Pho Hian Pho Sat} Bodhisatva Samanta Bhadra yang berada di depan altar Ma Co.
Rupang Cap Pwe Lo Han dengan pelbagai sikapnya yang khas memang banyak dijumpai di kelenteng-kelenteng Buddha di Tiongkok, seperti Ling Yun Si di Hang Zhou & Bi Yun Si diBei Jing dan lain-lain. Di pulau Jawa, arca Cap Pwe Lo Han selain terdapat di Kim Tek Ie, Jakarta, juga terdapat antara lain di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok Semarang & Kelenteng Eng An Kiong, Malang.
Arca Cap Pwe Lo Han di Kelenteng Tay Kak Sie Semarang merupakan versi lain, yaitu dengan memasukkan Mu Lian Zun Zhe yang merupakan salah 1 dari 10 murid utama Sang Buddha Sakyamuni ke dalam salah 1 dari 18 Arahat tersebut.
Secara umum dapat dipastikan bahwa Cap Lak Lo Han yang berasal dari India, terdapat di antara rupang-rupang Lo Han versi berbagai daerah, hanya urutan & tambahan 2 Lo Han saja yang berbeda.
Bentuk Cap Pwe Lo Han yang hidup & lincah memberikan inspirasi & menjadi thema yang sangat disukai di kalangan pelukis & pengukir. Keberadaan mereka telah memperkaya kesenian & kebudayaan, juga memberikan kesan khidmat dalam agama Buddha.
Coba perhatikan ekspresi muka & bentuk tubuh mereka, setiap rupang tidak sama. Sungguh-sungguh melambangkan suka & duka, amarah & kebahagiaan yang dialami dalam hidup manusia. Serta menampakkan keakraban & kekuatan yang lengkap, & mendekatkan diri pada bentuk yang mirip dengan sifat & karakter manusia.
O
—oooOOOooo—
O