Saturday 1 June 2013

Festival Pe Chun dan Alkisah Qu Yuan








Qu Yuan ( De Wei Jiang Jun )

Festival Peh Cun (端午节 – Duan Wu Jie) yang juga dikenal sebagai Festival Perahu Naga (Dragon Boat Festival) jatuh pada tanggal 5 bulan ke 5 berdasarkan perhitungan kalender lunar (Imlek). Duan Wu Jie adalah salah satu salah satu festival penting dalam kebudayaan suku China. Festival Duan Wu Jie tahun 2011 ini jatuh pada hari Senin tanggal 6 Juni.
 

Asal usul festival Duan Wu Jie itu sendiri ada beberapa versi, ada sumber yang menyatakan Festival Duan Wu Jie berasal dari pemujuan terhadap Dewa Naga, ada yang mengatakan berasal dari peringatan kisah kesetiaan 伍子胥 (Wu Zi Xu), ada pula sumber yang mengatakan festival Duan Wu Jie untuk mengenang kisah anak berbakti 曹娥 (Cao E), namun diantaranya yang paling terkenal adalah tentang kisah ke-patriotisme 屈原 (Qu Yuan).
 
image
 
Qu Yuan (339 SM - 277 SM) adalah seorang menteri negara Chu (楚) di Zaman Negara-negara Berperang. Ia adalah seorang pejabat yang berbakat dan setia pada negaranya, banyak memberikan ide untuk memajukan negara Chu, bersatu dengan negara Qi (齊) untuk memerangi negara Qin (秦). 
 
Namun sayang, ia dikritik oleh keluarga raja yang tidak senang padanya yang berakhir pada pengusirannya dari ibu kota negara Chu. Ia yang sedih karena kecemasannya akan masa depan negara Chu kemudian bunuh diri dengan melompat ke sungai Miluo. Ini tercatat dalam buku sejarah Shi Ji.
 
Sebelum bunuh diri dengan melompat ke Sungai Miluo, Qu Yuan sempat menulis puisi Lament of Ying – berisi ungkapan rasa cemas dan khawatir Qu Yuan menghadapi peperangan ditanah airnya yang sudah ada didepan mata. Puisinya mengekspresikan perhatian dan kekhawatiran yang mendalam akan masa depan tanah airnya, rasa kasihan terhadap masyarakat dan rasa geramnya terhadap para pemimpin negeri yang hanya memikirkan diri sendiri dan membiarkan tragedi tersebut terjadi.
 
Rakyat yang kemudian merasa sedih kemudian mencari-cari jenazah sang menteri di sungai tersebut. Mereka lalu melemparkan nasi dan makanan lain ke dalam sungai dengan maksud agar ikan dan udang dalam sungai tersebut tidak mengganggu jenazah sang menteri. 
 
Kemudian untuk menghindari makanan tersebut dari naga dalam sungai tersebut maka mereka membungkusnya dengan daun-daunan yang kita kenal sebagai bakcang sekarang. Para nelayan yang mencari-cari jenazah sang menteri dengan berperahu akhirnya menjadi cikal bakal dari perlombaan perahu naga setiap tahunnya.
 
 
image
 
Kegiatan dan Tradisi
  • Lomba Perahu Naga : Tradisi perlombaan perahu naga ini telah ada sejak Zaman Negara-negara Berperang. Perlombaan ini masih ada sampai sekarang dan diselenggarakan setiap tahunnya baik di Cina Daratan, Hong Kong, Taiwan maupun di Amerika Serikat. Bahkan ada perlombaan berskala internasional yang dihadiri oleh peserta-peserta dari manca negara, kebanyakan berasal dari Eropa ataupun Amerika Utara. Perahu naga ini biasanya didayung secara beregu sesuai panjang perahu tersebut.
  • Makan Bakcang : Tradisi makan bakcang secara resmi dijadikan sebagai salah satu kegiatan dalam festival Peh Cun sejak Dinasti Jin. Sebelumnya, walaupun bakcang telah populer di Cina, namun belum menjadi makanan simbolik festival ini. Bentuk bakcang sebenarnya juga bermacam-macam dan yang kita lihat sekarang hanya salah satu dari banyak bentuk dan jenis bakcang tadi. Di Taiwan, di zaman Dinasti Ming akhir, bentuk bakcang yang dibawa oleh pendatang dari Fujian adalah bulat gepeng, agak lain dengan bentuk prisma segitiga yang kita lihat sekarang. Isi bakcang juga bermacam-macam dan bukan hanya daging. Ada yang isinya sayur-sayuran, ada pula yang dibuat kecil-kecil namun tanpa isi yang kemudian dimakan bersama serikaya, gula manis.
  • Menggantungkan Rumput Ai dan Changpu : Peh Cun yang jatuh pada musim panas biasanya dianggap sebagai bulan-bulan yang banyak penyakitnya, sehingga rumah-rumah biasanya melakukan pembersihan, lalu menggantungkan rumput Ai (艾草) dan changpu (菖埔) di depan rumah untuk mengusir dan mencegah datangnya penyakit. Jadi, festival ini juga erat kaitannya dengan tradisi menjaga kesehatan di dalam masyarakat Tionghoa.
  • Mandi Tengah Hari : Tradisi ini cuma ada di kalangan masyarakat yang berasal dari Fujian (Hokkian, Hokchiu, Hakka), Guangdong (Teochiu, Kengchiu, Hakka) dan Taiwan. Mereka mengambil dan menyimpan air pada tengah hari festival Peh Cun ini, dipercaya dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit bila dengan mandi ataupun diminum setelah dimasak.
  • Dan masih banyak kegiatan dan tradisi lainnya yang berbeda-beda di masing-masing propinsi di Cina. Suku Manchu, Korea, Miao, Mongol juga merayakan festival ini dengan tradisi mereka masing-masing.
image
Bakcang atau bacang (肉粽) adalah penganan tradisional masyarakat Tionghoa. Kata 'bakcang' sendiri adalah berasal dari dialek Hokkian yang lazim dibahasakan di antara suku Tionghoa di Indonesia.
Bakcang menurut legenda pertama kali muncul pada zaman Dinasti Zhou berkaitan dengan simpati rakyat kepada Qu Yuan yang bunuh diri dengan melompat ke Sungai Miluo. Pada saat itu, bakcang dilemparkan rakyat sekitar ke dalam sungai untuk mengalihkan perhatian makhluk-makhluk di dalamnya supaya tidak memakan jenazah Qu Yuan. Untuk kemudian, bakcang menjadi salah satu simbol perayaan Peh Cun atau Duanwu.
Bakcang secara harfiah berarti cang yang berisi daging, namun pada prakteknya, cang juga ada yang berisikan sayur-sayuran atau yang tidak berisi. Yang berisi sayur-sayuran disebut chaicang dan yang tidak berisi biasanya dimakan bersama dengan serikaya atau gula disebut kicang.
Bakcang dibuat dari beras ketan sebagai lapisan luar; daging, jamur, udang kecil, seledri dan jahe sebagai isi. Ada juga yang menambahkan kuning telur asin. Untuk perasa biasanya ditambahkan sedikit garam, gula, merica, penyedap makanan, kecap dan sedikit minyak nabati.
Tentunya yang tidak kalah penting adalah daun pembungkus dan tali pengikat. Daun biasanya dipilih daun bambu panjang yang harus dimasak terlebih dahulu untuk detoksifikasi. Bakcang biasanya diikat berbentuk prisma segitiga.

Patriat 18 Thian Ran Ku Fo




Thian Ran Ku Fo


Thien Jan Ku Fo adalah Patriat ke-18 di Ufuk Timur. Salah satu Patriat kedua di pancaran  putih, bermarga Cang, bernama (atas) Kui (bawah) Sheng, alias Kuang Pi (gelar dalam wadah Ketuhanan adalah Thien Jen). Se Cun (Bapak Guru Agung) dilahirkan di propinsi San Tong, kota Ci Ning, merupakan titisan Buddha hidup Ci Kong. Turun ke dunia fana pada tahun 1889, bulan 7 tanggal 19. Saat itu, bertepatan dengan terbakarnya Tian Tan (tempat raja bersembahyang pada zaman dahulu) di Beijing dan air sungai Huang He (sungai kuning) tiba-tiba menjadi jernih. Sejak dilahirkan, Se Cun mempunyai wajah yang berbeda, dahi yang rata dan kepala yang persegi empat, kedua mata bersinar, pandai dan jujur. Ayahnya bernama Yi Er Kong, ibunya bermarga Chiao, merupakan keluarga kecil yang harmonis.
Tahun 1915 (kalender Ming Kuo tahun ke-4), Se Cun bertemu Chu Lao Se se-hingga mengetahui akan Tao (hakekat kebenaran), memohon Tao, membina diri, melaksanakan Tao, juga mengikuti Chu Lao Se membuka ladang Tao melaksanakan Tao. Dalam beberapa tahun, Se  Cun telah melintaskan 64 orang untuk memohon Tao. Waktu itu, ketentuan dari Kakek Guru Lu adalah harus melintasi 100 orang baru bisa meng-angkat arwah orang tua satu tahap. Namun berkat ketulusan hati dan rasa berbakti Se Cun kepada orang tua Beliau, maka Kakek Guru Lu memohon petunjuk dari Lao Mu (Ibunda Suci), “Mulai dari orang ini, asalkan bisa melintasi 64 orang, maka jasa pahalanya ditambah satu tingkat”. Dan sejak hari itu, bagi pembina diri yang tulus, asalkan telah melintaskan 64 orang bisa mengangkat arwah orang tuanya satu tingkat.

Pada tahun Ming Kuo ke-9 (tahun 1920), Chu Lao Se meninggal dunia, maka Se Cun lantas mendampingi Kakek Guru Lu terjun sendiri melintaskan umat. Mulai saat itu, Tao berkembang pesat. Se Cun menjadi salah satu dari delapan murid besar dari Kakek Guru Lu. Pada tahun Ming Kuo ke-14 (tahun 1925), Lu Cu mencapai kesempurnaan dan Lao Mu memberi petunjuk, “Firman Tuhan diwakilkan kepada adik perempuan dari Kakek Guru Lu (bermarga Lu (atas) Cong (bawah) Cie, merupakan titisan dari Nan Hai Ku Fo).” Selama 12 tahun, Se Cun menaati tata karma, menuruti perintah Lao Mu, menghormati Guru dan memen-tingkan Tao.

Tahun 1930 (tahun Ming Kuo ke-19), berdasarkan petunjuk Lao Mu, Se Cun dan Se Mu bersama-sama menerima Firman Tuhan dan meneruskan silsilah Tao, melintaskan umat tiga alam,  menyempurnakan urusan besar di akhir zaman ini. Se Cun menerima Firman Tuhan, menahan penghinaan, dan dengan sabar mengemban tanggung jawab yang berat. Saat itu, di mana-mana Para Suci meminjam raga menampilkan kesaksian untuk membantu Tao, membuktikan kemuliaan Firman Tuhan dari Guru Penerang Sejati.

Pada tahun Ming Kuo ke-25 (tahun 1936), Se Cun mendapat ujian dari pemerintah, Beliau ditangkap dan dikurung selama 300 hari. Inilah yang disebut “Cin Ling Wu Lao Lu”. (Emas murni melalui tempaan sebanyak 5 kali di atas tungku panas). Sejak hari itu, wadah Ketuhanan terus berkembang pesat. Pada tahun Ming Kuo ke-35 (tahun 1946), wadah Ketuhanan telah tersebar luas ke seluruh daratan Tiongkok. Pada tahun Ming Kuo ke-36 (tahun 1947), Se Cun mengunjungi propinsi Se Chu-an, kota Cheng Tu. Pada bulan delapan, Beliau datang ke Wang Cia Thang dan tiba-tiba melihat ada sejenis buah yang aneh jatuh ke tanah. Wajah Beliau menjadi kaget dan sedih. Sejak hari itu, penyakit Se Cun semakin hari semakin memburuk. Maka pada malam Cong Chiu, Guru Pene-rang pada zaman itu telah mencapai kesempurnaan, tutup usia pada umur 59 tahun.

Lima hari setelah mencapai kesempurnaan (bulan 8 tanggal 20), dengan memohon petunjuk Lao Mu, roh Se Cun meminjam raga. Beliau dengan welas asih memberi petunjuk, “Kuburan dibangun di pinggir Danau Si Hu, berdekatan dengan Yi Cia Thang, membelakangi Gunung Nan Phing, menghadap Tong Shan. Ada burung Feng Huang, di sebelah kiri ada Danau Si Hu, di sebelah kanan ada Gunung Yi Wan Shan.” Setelah mencapai kesempurnaan, Lao Mu memberi Beliau gelar “Thien Jan Ku Fo”

Patriat 17 Cin Kong Cu Se







Cin Kong Cu Se
Kokok ayam 3 kali pertanda akhir jaman. Hati adil tiada ego tersebar ke penjuru dunia. Kakek patriat menyebar pusaka rahasia membuka jalan kesadaran. Memberi petunjuk, mengentaskan umat yang tersesat. Di masa pancaran putih, setiap hari menyempurnakan dan menerangi jiwa. Menembus gerbang langsung ke tempat roh sejati. Meng-ajarkan pada umat awam jalan kembali ke kampung halaman. Memprakarsai pertemuan akbar “Lung Hua”.

Cin Kong Cu Se adalah Kakek Guru Patriat ke-17 di Ufuk Timur, Kakek Guru pertama pada pancaran putih, titisan dari Mi Le Ku Fo (Buddha Maitreya), bertepatan di awal pancaran putih. Kakek Guru bermarga Lu, bernama (atas) Cong (bawah) Yi. Beliau dilahirkan di propinsi San Tong, kota Ci Ning, pada tahun 1849, bulan 4 tanggal 24, bertepatan dengan Dinasti Ching. Beliau menyebut diri sendiri adalah Wu Sien Che Jen (Gelar dalam wadah Ketuhanan adalah Thong Li Ce).

Semasa kecil, Kakek Guru telah kehilangan kedua orang tuanya. Beliau hidup menderita, tinggal di rumah gubuk di luar kota (berjarak ± 5 km dari kota), hanya bersama dengan seorang
adik perempuannya. 

Pada usia 22 tahun, beliau pergi ke propinsi He Bei, ikut militer di pos Ce Li. Setelah berusia 48 tahun, tiba-tiba Beliau mendapat petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa. Selama 3 hari berturut-turut, Kakek Guru mendapat mimpi dari Lao Mu (Ibunda Illahi), “Cepat-cepatlah menuju ke propinsi San Tong, kota Ching Cou, menemui Kakek Guru Ching Si. Jangan serakah dan terikat oleh urusan duniawi”. Saat itu juga, Kakek Guru melepas pekerjaan dan tugasnya, menuju ke arah selatan menemui Kakek Guru Patriat ke-16 (Liu Cu) untuk memohon Tao. Harta benda berupa 100 keping uang perak dipersembahkan semua, lalu membina diri di tempat tinggal Liu Cu.

Setiap hari Kakek Guru mencari kayu bakar, menimba air, menanam sayur, menanak nasi, membina dan melatih diri dengan susah payah. Pada saat Liu Cu sudah berumur 50 tahun dan ingin memberikan kedudukannya sebagai Kakek Guru, Lao Mu bersabda:
“Orang Bijak telah di depan mata. Jika bertanya, Mi Le ada di mana? Coba lihat dengan teliti di dalam Su Ciang Chi (semacam kolam ramalan)
.
Orang yang kepalanya memakai topi yang terbuat dari bulu kam-bing, badannya memakai jubah biksu dan dari mulut Beliau mengeluarkan kata-kata yang benar, memiliki hati welas asih, setia kawan, dan sering beramal. Membuka mata lebar-lebar dalam membedakan jalan yang benar dan tidak. Di antaranya terdapat tanda.   Pada kedua telapak tangannya terdapat gambar matahari dan bulan berputar sesuai kebenaran. 

Maka pada tahun 1905,bulan 3 tanggal 15, Kakek Guru menerima dan meneruskan Firman Tuhan sebagai pe-nguasa Tao pada pancaran putih, melintaskan umat manusia yang tersesat. Saat itu, baru diketahui bahwa di dalam Wejangan Lao Mu telah tersembunyi nama besar Kakek Guru , yaitu “Lu Cong Yi”.

Setelah itu, Kakek Guru me-nerima mandat dan dengan tenang menempati Vihara Kuan Yin. Beliau kembali ke propinsi San Tong, kota Ci Ning (tempat kelahirannya) dan bersama-sama dengan adik perempuan dan ke dua keponakannya menyebarkan Tao ke pelosok dunia, mendirikan Fo Thang, dan melintaskan umat. Sampai tahun 1925 (tahun Ming Kuo ke-14), Tao sudah menyebar luas ke propinsi San Tong dan sekitarnya. Di bawah pimpinan Kakek Guru, ada 8 orang pemimpin besar. Pada tahun yang sama, bulan 2 tanggal 2, Kakek Guru mencapai kesempurnaan, tutup usia pada umur 76 tahun.

Semasa hidup, Kakek Guru sa-ngat sederhana dan suci bersih. Meskipun berusia lanjut, namun wajahnya masih tetap cerah sehingga Beliau juga dijuluki “Ju Thong Cin Kong”. Tahun berikutnya, bulan 3 tanggal 3, Kakek Guru “meminjam raga” umat yang bernama Yang Chun Ling yang tinggal di propinsi Shan Si, mengadakan kesaksian / mukjizat 100 hari di propinsi San Tong, kota Ci Ning. Beliau menyampaikan “Parita Cin Kong”. Juga mengatakan bahwa “Parita Sejati Mi Le” telah diturunkan ke dunia. 

Bersamaan dengan itu, Beliau menuliskan sajak kuno berdasar Bunga Mei, “Angin meniup daun bambu, hewan naga menggerakkan cakarnya, hujan menerpa bunga hou, burung hong mengangguk”, yang disebut “Cin Ci Chu Chang” (Ayam emas berkokok pertama).
Sebagai kesaksian, pada tahun Ming Kuo ke-18 (tahun 1929), Kakek Guru juga “meminjam raga” umat yang bernama Tu Yi Kun, dari propinsi He Nan selama satu bulan. Ini disebut “Cin Ci Er  Chang” (Ayam emas berkokok ke dua). Selanjutnya, masih ada “Cin Ci San Chang” (Ayam emas berkokok ketiga) yang ditampilkan kepada umat manusia untuk membuktikan kemuliaan Tao di pancaran  putih. Setelah Kakek Guru mencapai kesempurnaan dan Lao Mu menganugerahkan  gelar : “Cin Kong Cu Se”