Saturday 1 June 2013

Patriat 17 Cin Kong Cu Se







Cin Kong Cu Se
Kokok ayam 3 kali pertanda akhir jaman. Hati adil tiada ego tersebar ke penjuru dunia. Kakek patriat menyebar pusaka rahasia membuka jalan kesadaran. Memberi petunjuk, mengentaskan umat yang tersesat. Di masa pancaran putih, setiap hari menyempurnakan dan menerangi jiwa. Menembus gerbang langsung ke tempat roh sejati. Meng-ajarkan pada umat awam jalan kembali ke kampung halaman. Memprakarsai pertemuan akbar “Lung Hua”.

Cin Kong Cu Se adalah Kakek Guru Patriat ke-17 di Ufuk Timur, Kakek Guru pertama pada pancaran putih, titisan dari Mi Le Ku Fo (Buddha Maitreya), bertepatan di awal pancaran putih. Kakek Guru bermarga Lu, bernama (atas) Cong (bawah) Yi. Beliau dilahirkan di propinsi San Tong, kota Ci Ning, pada tahun 1849, bulan 4 tanggal 24, bertepatan dengan Dinasti Ching. Beliau menyebut diri sendiri adalah Wu Sien Che Jen (Gelar dalam wadah Ketuhanan adalah Thong Li Ce).

Semasa kecil, Kakek Guru telah kehilangan kedua orang tuanya. Beliau hidup menderita, tinggal di rumah gubuk di luar kota (berjarak ± 5 km dari kota), hanya bersama dengan seorang
adik perempuannya. 

Pada usia 22 tahun, beliau pergi ke propinsi He Bei, ikut militer di pos Ce Li. Setelah berusia 48 tahun, tiba-tiba Beliau mendapat petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa. Selama 3 hari berturut-turut, Kakek Guru mendapat mimpi dari Lao Mu (Ibunda Illahi), “Cepat-cepatlah menuju ke propinsi San Tong, kota Ching Cou, menemui Kakek Guru Ching Si. Jangan serakah dan terikat oleh urusan duniawi”. Saat itu juga, Kakek Guru melepas pekerjaan dan tugasnya, menuju ke arah selatan menemui Kakek Guru Patriat ke-16 (Liu Cu) untuk memohon Tao. Harta benda berupa 100 keping uang perak dipersembahkan semua, lalu membina diri di tempat tinggal Liu Cu.

Setiap hari Kakek Guru mencari kayu bakar, menimba air, menanam sayur, menanak nasi, membina dan melatih diri dengan susah payah. Pada saat Liu Cu sudah berumur 50 tahun dan ingin memberikan kedudukannya sebagai Kakek Guru, Lao Mu bersabda:
“Orang Bijak telah di depan mata. Jika bertanya, Mi Le ada di mana? Coba lihat dengan teliti di dalam Su Ciang Chi (semacam kolam ramalan)
.
Orang yang kepalanya memakai topi yang terbuat dari bulu kam-bing, badannya memakai jubah biksu dan dari mulut Beliau mengeluarkan kata-kata yang benar, memiliki hati welas asih, setia kawan, dan sering beramal. Membuka mata lebar-lebar dalam membedakan jalan yang benar dan tidak. Di antaranya terdapat tanda.   Pada kedua telapak tangannya terdapat gambar matahari dan bulan berputar sesuai kebenaran. 

Maka pada tahun 1905,bulan 3 tanggal 15, Kakek Guru menerima dan meneruskan Firman Tuhan sebagai pe-nguasa Tao pada pancaran putih, melintaskan umat manusia yang tersesat. Saat itu, baru diketahui bahwa di dalam Wejangan Lao Mu telah tersembunyi nama besar Kakek Guru , yaitu “Lu Cong Yi”.

Setelah itu, Kakek Guru me-nerima mandat dan dengan tenang menempati Vihara Kuan Yin. Beliau kembali ke propinsi San Tong, kota Ci Ning (tempat kelahirannya) dan bersama-sama dengan adik perempuan dan ke dua keponakannya menyebarkan Tao ke pelosok dunia, mendirikan Fo Thang, dan melintaskan umat. Sampai tahun 1925 (tahun Ming Kuo ke-14), Tao sudah menyebar luas ke propinsi San Tong dan sekitarnya. Di bawah pimpinan Kakek Guru, ada 8 orang pemimpin besar. Pada tahun yang sama, bulan 2 tanggal 2, Kakek Guru mencapai kesempurnaan, tutup usia pada umur 76 tahun.

Semasa hidup, Kakek Guru sa-ngat sederhana dan suci bersih. Meskipun berusia lanjut, namun wajahnya masih tetap cerah sehingga Beliau juga dijuluki “Ju Thong Cin Kong”. Tahun berikutnya, bulan 3 tanggal 3, Kakek Guru “meminjam raga” umat yang bernama Yang Chun Ling yang tinggal di propinsi Shan Si, mengadakan kesaksian / mukjizat 100 hari di propinsi San Tong, kota Ci Ning. Beliau menyampaikan “Parita Cin Kong”. Juga mengatakan bahwa “Parita Sejati Mi Le” telah diturunkan ke dunia. 

Bersamaan dengan itu, Beliau menuliskan sajak kuno berdasar Bunga Mei, “Angin meniup daun bambu, hewan naga menggerakkan cakarnya, hujan menerpa bunga hou, burung hong mengangguk”, yang disebut “Cin Ci Chu Chang” (Ayam emas berkokok pertama).
Sebagai kesaksian, pada tahun Ming Kuo ke-18 (tahun 1929), Kakek Guru juga “meminjam raga” umat yang bernama Tu Yi Kun, dari propinsi He Nan selama satu bulan. Ini disebut “Cin Ci Er  Chang” (Ayam emas berkokok ke dua). Selanjutnya, masih ada “Cin Ci San Chang” (Ayam emas berkokok ketiga) yang ditampilkan kepada umat manusia untuk membuktikan kemuliaan Tao di pancaran  putih. Setelah Kakek Guru mencapai kesempurnaan dan Lao Mu menganugerahkan  gelar : “Cin Kong Cu Se”

No comments:

Post a Comment